"Laugh, and the world will laugh with you. Weep, then you weep alone."
Kenyataan bahwa saya selalu menonton film-film lama yang punya reputasi bagus memang tidak bisa dipungkiri, dan hal yang sama telah menuntun saya kepada film Oldboy. Sebuah film asal negeri Gingseng yang identik dengan drama serba menguras air mata punya drama genre thriller dan menang penghargaan di Cannes Film Festival? Oh c'mon! Bukannya saya meremehkan film Korea, namun kenyataan bahwa memang film korea lebih sering bergelut dengan cinta-cintaan dan air mata yang.. cukup cliche membuat saya kadang enggan menyaksikan film Korea. Apalagi akhir-akhir ini Korea produktif sekali dengan proyek boy/girl band yang mulai meracuni Indonesia dan.. ah lupakan soal boyband! Saya harusnya bercerita tentang reaksi saya setelah menonton film Oldboy yang sudah dapat banyak review positif ini.
Seorang pria paruh baya bernama Oh Dae Suk (Min-Sik Choi) ditangkap polisi karna mabuk-mabukan dan mengganggu ketentraman umum. Kenyataan bahwa anaknya yang sedang berulang tahun menunggunya di rumah terpaksa harus ia lupakan, karna setelah bebas dari kantor polisi, seseorang membawa dan mengurungnya dalam penjara tanpa alasan yang jelas. Lima belas tahun berselang, Dae Suk dibebaskan setelah dihipnotis terlebih dahulu. Dalam balutan pakaian yang serba rapi, Dae Suk yang mencari kenyataan mengenai alasannya dikurung dan siapa dalang di balik semua hal tersebut. Pencarian membawanya pada Mido (Hye-Jeong Kang), gadis yang dikenalnya di restoran dan mereka saling tertarik satu sama lain. Sementara itu, muncul sosok bernama Lee Woo Jin (Ji-Tae Yu) yang mengaku sebagai dalang atas pengurungan Dae Suk. Alih-alih Dae Suk membalas dendam kepada Woo Jin, Woo Jin malah memberi Dae Suk tenggat waktu selama 5 hari untuk mengetahui alasan kenapa ia mengurung Dae Suk selama 15 tahun. Pencarian atas serpihan-serpihan kenyataan yang ada membawa Dae Suk pada masa lalu yang telah dilupakan dan tanpa sadar Dae Suk telah menjerumuskan dirinya sendiri pada kenyataan yang lebih pahit.
Satu kata yang saya keluarkan ketika film ini mencapai ending, oh my fuckin' God! Ya, cerita yang bergulir memiliki banyak pertanyaan yang akhirnya merujuk pada satu kenyataan pahit, kenyataan yang tidak pernah saya duga. Dengan logat dan ekspresi khas Korea (terutama karakter Mido), alur cerita film ini mengalir dan enak untuk diikuti. Satu demi satu pertanyaan mulai muncul di benak ketika menyaksikan film ini. Namun sekali lagi, kekuatan utama film ini terletak di ending yang twisted. Ketika kenyataan-kenyataan yang ada mulai ditampilkan satu per satu, perlahan-lahan saya mulai menebak alasan utama Woojin mengurung Dae Suk. Namun, ternyata ada kenyataan lain yang rupanya lebih menyakitkan dan tidak pernah saya duga.
Min-Sik Choi yang berperan sebagai Dae Suk memang benar-benar mencuri perhatian di sepanjang film. Perubahan ekspresinya dari sosok Dae Suk yang innocent, depresi, hingga penuh dendam bahkan cenderung nyaris gila ditampilkan dengan sangat meyakinkan. Tak heran kalau akhirnya Min Sik Choi memperoleh banyak penghargaan di berbagai festival film Internasional atas perannya di film ini. Ekspresi kengerian demi kengerian berhasil ditampilkan dengan baik olehnya. Begitu pula dengan Ji-Tae Yu yang berperan sebagai Woo Jin dengan wajahnya yang cukup innocent menurut kacamata saya (ya perempuan memang lemah dengan wajah innocent) tampil begitu dingin dan seolah penuh misteri mampu mengimbangi akting Min-Sik Choi.
Belum lagi gambar-gambar yang ditampilkan oleh sutradara Park Chan Wook begitu detail. Masih berbekas di ingatan saya bagaimana adegan Dae Suk memakan gurita hidup-hidup (nampaknya adegan ini menjadi adegan paling populer dari film ini) atau bagaimana Dae Suk menghajar segerombol orang di sebuah lorong dengan hanya bermodal martil (mengingatkan saya pada film Drive ataupun The Raid) atau adegan ending dimana semua kenyataan terungkap (saya tidak bisa menceritakan tanpa spoiler). Kekerasan demi kekerasan menjadi adegan mengerikan sekaligus memorable, yang terpaksa harus saya saksikan lewat sela-sela jari tangan saya karna saya tidak punya keberanian menyaksikan sepenuhnya adegan kekerasan penuh darah. Beruntung ada karakter Mido yang seolah menjadi peredam dari semua adegan kekerasan yang ditampilkan. Masih ada satu poin plus lagi, score music. Ada satu score yang begitu familiar di telinga saya, entah saya pernah mendengarnya dimana. Score tersebut sangat menggambarkan kegetiran hidup Dae Suk di film ini, menjadikan score ini menjadi salahsatu score favorit saya.
Setelah saya menyaksikan film ini, saya berteriak pada diri saya sendiri "Hey.. kemana aja baru nonton film ini sekarang?".Film ini mungkin bukan favorit semua orang dengan kekerasan dan unsur nudity-nya yang cukup eksplisit. Tapi seperti film-film lain favorit saya, film ini memiliki ending yang mampu membuat pikiran dan perasaan bergelut. Perasaan 'Gila, saya ditipu ending lagi nih' menjadi salahsatu perasaan yang paling menyenangkan setelah menonton sebuah film bagi saya. Maka saya tidak akan segan menjadikan film ini menjadi salahsatu film favorit saya. Dan yah, saya harus mengakui bahwa Korea ternyata punya lebih dari sekedar boyband, saya harus camkan itu baik-baik di ingatan saya. Berita terakhir yang saya dengar Hollywood mencoba me-remake film ini dengan Spike Lee duduk di kursi sutradara dan Josh Broslin sebagai bintang utamanya. Well, kita lihat saja hasil remake Hollywood. Namun yang jelas, versi orisinalnya tidak akan tergantikan.
Rating: 9/10
No comments:
Post a Comment