Mar 29, 2012

The Raid Review


"Kenapa harus kita? Kenapa harus hari ini?"
Mungkin inilah film lokal yang paling ditunggu-tunggu sepanjang tahun oleh penonton di Indonesia. Bagaimana tidak, film ini sudah menang banyak penghargaan dan mendapat apresiasi di luar negeri begitu besar, maka penonton di Indonesia sudah seharusnya menonton film ini. Walaupun saya agak telat nontonnya (karna rilis akhir bulan dimana kondisi keuangan memprihatinkan dan ada film lain yang sudah lama saya tunggu juga) tapi hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk menonton film ini, mengingat ini film Indonesia yang punya kualitas dan banyak dibicarakan di luar negeri.

Film ini bercerita tentang sekelompok polisi yang ingin melakukan penyergapan di sebuah apartemen dimana bos mafia (atau semacam itu) yang sudah punya nama besar di dunia hitam bertempat tinggal. Penyergapan yang semula nampaknya mudah berubah menjadi sulit begitu rencana penyergapan tercium oleh penghuni apartemen yang memang hampir seluruh penghuninya merupakan anak buah si bos mafia. Maka aksi penyergapan ini malah berubah menjadi aksi menyelamatkan diri karna para penjahat jelas tidak segan untuk membunuh tim polisi yang terjebak di apartemen tersebut.


Ceritanya standar? Ya, memang ceritanya standar. Kita sudah sering mendengar cerita semacam ini di film action. Segala macam pengkhianatan dan sejenisnya merupakan premis standar film action. Lalu apa yang dijual film ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah adegan actionnya yang benar-benar total dan memanjakan mata. Yang saya pikirkan selama menonton film ini adalah, koreografi fighting-nya benar-benar bagus! Dan jelas, adegan fighting disini tanpa stunt double, mengingat kamera mengikuti terus setiap gerak pemainnya. Segala gerakan yang ditampilkan memang benar-benar membuat saya menahan nafas dan berusaha menahan teriakan saya ketika ada darah segar yang mengalir dari setiap pemainnya. Walaupun ada adegan yang mengganjal saya seperti Mad Dog (Yayan Ruhiyan) yang malah membuang senjatanya ketika melawan Jaka (Joe Taslim). Menurut saya, penjahat bagaimanapun pasti akan membunuh langsung lawannya tanpa banyak bicara. Jadi ketika Mad Dog menodongkan pistolnya ke kepala Jaka, kenapa dia tidak langsung menembak kepala Jaka? Kenapa harus membuang-buang waktu melawan dengan tangan kosong? Ketika Mad Dog berkata, "ini yang gue suka.." saya tau kalau dia suka bertarung dengan tangan kosong, tapi apakah itu tidak terlalu berlebihan? Kemudian adegan lain dimana Mad Dog menyiksa Andi (Donny Alamsyah) di suatu ruangan dan Rama (Iko Uwais) melihatnya. Saat itu, Mad Dog melepaskan Andi kemudian membiarkan Andi dan Rama melawannya, atau dalam arti lain, 2 lawan 1. Tidakkah itu membuang-buang waktu? Kenapa Andi harus dilepaskan lebih dulu? Kenapa Mad Dog harus sok kuat dengan membiarkan Andi dan Rama sekaligus melawannya seorang diri? Kenapa Mad Dog yang sudah kehabisan banyak darah masih sanggup melawan? Ada juga adegan yang mengganggu saya seperti orang baik yang tinggal di apartemen tersebut di lantai 7, yang menolong Rama dan temannya (saya lupa siapa nama karakternya bahkan saya lupa nomer kamarnya). Dia orang baik tapi kenapa harus bertahan tinggal di tempat sarang penjahat seperti itu? Kalaupun sewanya murah, kenapa tidak berusaha mencari tempat lain yang lebih kondusif? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus menghantui saya sepanjang film, membuat banyak plot hole yang menjadi kekurangan film ini, yakni kekuatan cerita. Walaupun saya akui, adegan tabung gas dan kulkas itu benar-benar membuat saya kagum. Begitulah seharusnya polisi, punya otot dan punya otak.


Dari departemen akting, yang paling mencuri perhatian jelas Ray Sahetapy sebagai Tama. Penjahat tanpa ekspresi lebih menakutkan saya, dimana ketika ditodong polisi dengan pistol dia hanya berkata dengan ekspresi datar "salah saya apa pak polisi?". Nada bicara tenang dan tetap terkontrol walaupun keadaan terdesak adalah tipe penjahat yang saya takuti dan Ray Sahetapy membawakannya dengan sangat baik.  Pemain lain, yang saya tau kebanyakan adalah atlet beladiri, kurang begitu menonjol.  Akting yang ditampilkan standar dan kurang berkesan. Kemampuan verbal mereka dalam mengucapkan dialog juga masih kurang, karna ada beberapa dialog yang tidak tertangkap oleh saya (atau mungkin tertutup riuhnya gedung bioskop?). Selain itu, ada dialog yang kadang membuat saya mengernyit, entah kenapa ada beberapa dialog yang menurut saya terlalu "sopan" untuk penjahat. Penjahat memang lebih baik ditampilkan dengan dialog yang kasar dan juga makian yang super duper kasar. Yang saya tau akting Iko Uwais setidaknya tidak sekaku di Merantau (yang belum selesai saya tonton fyuhh). Yayan Ruhiyan juga cukup mencuri perhatian. saya membayangkan bagaimana kalo seandainya saya bertemu orang semacam ini di jalan, mungkin saya cuma bisa nunduk dan berjalan cepat supaya bisa menghindar dari orang ini.


Adegan favorit saya? Adegan dimana Mad Dog menghajar Jaka habis-habisan. Penutup adegan ini disajikan tanpa score dan suara adegan baku hantam yang minimalis serta adegan yang lebih lambat sehingga ketegangan adegan ini meningkat, lebih tinggi dibanding adegan lainnya.

Di balik semua kekurangannya, The Raid sukses membuat saya tidak mengalihkan pandangan ketika adegan fighting dan berusaha menutup mata sekuat-kuatnya ketika ada darah segar muncrat kemana-mana. Beruntunglah kita, sutradara The Raid, Gareth Evans, yang jelas bukan orang asli Indonesia, begitu mencintai budaya Indonesia, terutama pencak silat, sehingga menghadirkan budaya ini ke dalam sebuah film yang ternyata sangat dihargai di luar negeri. Selain itu, film ini memberikan angin segar buat perfilman Indonesia dengan genre baru, genre action. Kita sebagai warga Indonesia sudah muak dengan film-film Indonesia dengan cerita pas-pasan, akting standar, penggarapan yang singkat serta eksekusi yang tidak maksimal dari genre yang itu-itu saja. Semoga saja rilisnya The Raid ini membuat film-film kualitas rendah tersingkir dan terpacu untuk membuat film dengan kualitas yang setara dengan film ini. Bagaimanapun, saya selalu berusaha menghargai film-film Indonesia, asal kualitas film tersebut bukan kualitas asal-asalan.

Rating: 7/10

No comments:

Post a Comment