Apr 28, 2012

Modus Anomali Review


"Sorry I couldn't protect us.."
Satu lagi film Indonesia yang memperoleh apresiasi di festival luar negeri. Ya, film ini sudah menghebohkan, terutama via Twitter, bahkan jauh sebelum filmnya dirilis. Walaupun tak seheboh film The Raid yang menjadi perbincangan bahkan hak ciptanya dibeli Sony, film ini terkesan lebih 'tenang' dan film Indonesia ini termasuk most anticipated movie tahun 2012. Joko Anwar, ialah salahsatu sineas Indonesia yang film-filmnya memang bukan tipikal film standar, karya-karyanya memang memiliki kedalaman cerita. Mungkin saya memang belum pantas bicara seperti ini, karna film Joko Anwar yang sudah saya tonton selain film ini hanyalah Janji Joni, yang ringan namun menggigit. Saya sudah terlanjur trauma menonton film Indonesia, yang bahkan genre horor-nya tidak lagi membuat saya takut, melainkan hanya mengernyitkan kening. Tapi saya berani mengatakan bahwa Joko Anwar bukan seorang sineas film biasa dan film-film karyanya juga pasti tidak biasa.

Film ini dibuka dengan gambar-gambar indah dari ekosistem hutan, sampai akhirnya keheningan dipecahkan oleh satu sosok yang muncul dari tanah. Seorang laki-laki (diperankan oleh Rio Dewanto) yang dikubur hidup-hidup di tengah hutan dan ketika terbangun, dia tidak ingat apa-apa, bahkan namanya sendiri. Mencari tahu tentang identitasnya, pria yang akhirnya mengetahui namanya John Evans ini menyadari bahwa dia memiliki keluarga yang sedang berlibur di hutan tersebut. Ketika John menemukan sebuah kabin di tengah hutan dengan sebuah rekaman video yang berisi pembunuhan seorang wanita hamil oleh seorang pria misterius, ia sadar wanita hamil yang dibunuh tersebut adalah istrinya dan ia harus mencari anak-anaknya di tengah hutan untuk menyelamatkan nyawa mereka dari pembunuh misterius tersebut.

Gambar-gambar yang ditampilkan, keindahan hutan tergambar sangat baik, sampai akhirnya benar-benar 'dirusak' oleh Rio Dewanto. Keheningan yang tercipta di film ini benar-benar memberi ketegangan yang luar biasa, terutama suasana hutan yang sangat hening, apalagi di malam hari. Saya harus mengakui bahwa film ini sempat membuat saya mengantuk dan bosan karna separuh awal film hanya diisi John yang kejar-kejaran seorang diri dan penonton tidak punya petunjuk apapun tentang pembunuh yang mengejarnya, apalagi teknik shaky camera-nya memang agak berlebihan, yang membuat film ini malah lebih mirip film found footage. Beberapa adegan memang sempat membuat saya bergidik, entah itu karna terkejut, atau karna ngeri. Rio Dewanto memang seperti one-man-show di paruh pertama film, sampai mungkin penonton bosan melihatnya terus-terusan ketakutan dan berlarian di tengah hutan. Tapi seperempat akhir film, percayalah bahwa penonton harus membuka matanya lebar-lebar guna mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan setelah kredit muncul, penonton akan merasa 'ditipu' oleh endingnya. 'Ditipu' yang saya maksud disini adalah ditipu in a good way. Jelas penonton akan menerka-nerka apa yang terjadi, saya sendiri punya dugaan tanpa motif. Jujur, saya senang dengan tipe film seperti ini, dimana ending meruntuhkan semua dugaan utama selama menonton. Setelah menonton, penonton akan diajak berpikir keras, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa begini, kenapa begitu? Jawaban dari semua pertanyaan itu dipaparkan secara gamblang di akhir film dengan gaya penceritaan yang berbeda, yakni menggunakan objek yang berbeda sebagai penjelasan atas kejadian di objek pertama. Menarik? Pasti. Dugaan saya mengenai ending (termasuk who the monster is) separuh benar, tapi penyebab dan motifnya? Saya salah besar.


Masalah filmnya yang menggunakan dialog bahasa inggris, saya rasa bukan masalah besar. Justru ini adalah film dimana dialognya berbahasa inggris, tapi saya tidak perlu benar-benar memperhatikan subtitle-nya karna aksen yang jelas 'Indonesia banget'. Rio Dewanto tampil meyakinkan disini, walaupun bahasa inggrisnya kurang luwes (malah saya suka sekali dengan Hannah Al-Rashid yang luwes sekali dalam berbahasa inggris). Jelas Rio Dewanto merupakan salah satu aktor terbaik yang dimiliki Indonesia (saya masih ingat akting gemulainya yang meyakinkan di Arisan! 2). Aktingnya sebagai laki-laki yang sendirian dan ketakutan tampak meyakinkan, membuat saya ikut terbawa ketakutan setiap suasana hutan berubah hening dan hanya ada teriakan-teriakan dari John sendiri. Perubahan-perubahan ekspresi wajahnya juga membuat saya merinding. Saya tidak akan membahas perubahan ekspresi apa, karna ujungnya pasti akan menjadi spoiler. Aktor dan aktris pendukung lainnya kurang mendapat spotlight karna mendapat porsi tampil yang memang sedikit, tapi pemeran anak-anak di keluarga kedua punya kemampuan berbahasa inggris yang luwes, jadi sedikit mendapat perhatian dari saya.

Saya tidak berani bilang bahwa ini film terbaik dari Joko Anwar, karna saya belum menonton Kala dan Pintu Terlarang. Tapi, saya berani menjamin ini merupakan salahsatu film Indonesia yang berkualitas. Jangan bandingkan film ini dengan film Indonesia lainnya yang kebanyakan hanya menjual fisik pemainnya,  jokes slapstick dalam dialognya dan akting pas-pasan. Atau bahkan ada drama yang lebay. Jangan harap. Kalau memang mau mencari film hiburan ringan, dalam artian tertawa lepas dan tanpa berpikir, jangan pilih film ini. Lebih baik pilih film Nenek Gayung di teater sebelah. Tapi kalau mencari kepuasan yang berbeda, dimana lebih senang film dengan kedalaman cerita dan ending yang lumayan membuat kening berkerut, boleh pilih film ini, dan rasakan sendiri sensasi endingnya.

Rating: 8/ 10

No comments:

Post a Comment