"Our lives were never ours, they belong to Snow and our deaths do too. But if you kill him, Katniss, all those deaths, they mean something"
Akhirnya, sampailah kita di
penghujung seri Hunger Games. Beruntungnya
seri ini punya Jennifer Lawrence, yang pada saat seri ini berlangsung berhasil
memenangkan piala Oscar, dan meningkatkan prestise film yang diangkat dari
novel young adult bersettingkan di negara fiksi bernama Panem karya Suzanne
Collins. Peran yang sebenarnya bisa jatuh ke tangan aktris lain, namun akhirnya malah Jennifer Lawrence yang memerankan sang heroine utama, Katniss Everdeen, dan membuat namanya semakin luas dikenal publik. Film yang dulunya saya tonton cuma karna ada Josh Hutcherson, dan
ternyata film ini alur cerita yang menarik. Penggemarnya baik pembaca novel maupun bukan pasti
sudah menanti film pamungkas seri ini, karna sudah kita semua ketahui bahwa
seri ini sudah berkembang menjadi saga besar yang selalu dinanti kehadirannya.
Melanjutkan kisahnya langsung
setelah Part 1 berakhir, dimana ingatan Peeta (Josh Hutcherson) berhasil
dimodifikasi oleh Capitol dan membuat Peeta begitu membenci Katniss (Jennifer
Lawrence) bahkan tidak mampu membedakan mana yang nyata dan tidak. Katniss tentu saja terpukul, namun ia harus tetap melanjutkan
perannya sebagai sang Mockingjay, melanjutkan pemberontakannya melawan Capitol, menggulingkan Snow (Donald Sutherland) yang selama ini menjadi titik
awal semua penderitaan, tidak hanya penderitaannya pribadi, namun juga penderitaan
seluruh Panem. Semakin maju ke garis terdepan pemberontakan di Distrik 2,
Katniss harus menghadapi berbagai rintangan yang disiapkan Presiden Snow untuk
membunuh sang Mockingjay tentu saja, yang sempat disebut Finnick sebagai Hunger Games
ke-76. Semakin mendekati akhir, Katniss semakin dihadapkan dengan kenyataan
bahwa tidak ada yang bisa dipercaya, bahkan Presiden Coin (Julianne Moore) yang
selama ini menyokong hidupnya dan mengobarkan semangat pemberontakan di Panem.
Oke, mungkin akan ada sedikit spoiler. Dan karna sudah merupakan seri terakhir, jadi mungkin pembahasannya akan sedikit meluas. Jadi di Part 1 mungkin kita lelah dengan berbagai macam propaganda dan bahkan sebagian penonton awam menganggap Part 1 begitu membosankan dan melelahkan untuk ditonton. Ya, memang harus diakui. Seri pertama dan keduanya sudah memberikan pandangan bahwa Hunger Games identik dengan sekumpulan remaja dikumpulkan kemudian mereka akan dibiarkan untuk saling membunuh demi kesenangan Capitol. Tapi perlu diingat, seri ini tidak melulu soal hal itu. Di akhir film pertama kita sudah diberi petunjuk, Katniss menolak mebunuh Peeta, rekan satu distriknya, dan lebih baik mati ketimbang harus membunuhnya. Ini adalah percik-percik pemberontakan, dimana Katniss menolak menuruti kemauan Capitol. Capitol jengkel, dan akhirnya memasukkan kembali Katniss ke dalam Quarter Quell, dengan niatan supaya Katniss bisa mati dan tangan Capitol tetap bersih. Tapi ternyata tindakan Katniss di awal sudah membuat sebagian orang sadar, bahwa Katniss adalah harapan dari semua ketakutan selama ini. Skenario yang disusun oleh pihak-pihak tertentu untuk memulai pemberontakan dijalankan, yang sayangnya malah mengorbankan Peeta dan Katniss, yang pada saat itu sama sekali tidak tahu soal pemberontakan. Semua hal ini sudah jelas, inti dari semua ini adalah rebellion, menggulingkan tirani Capitol dan menghentikan semua kekejaman ini, Jadi sebenarnya tidak ada yang salah pada Part 1 yang hanya berisi propaganda, tanpa ada aksi berarti, karna kita sudah memasuki fase akhir. Ya karna memang intinya adalah memberontak melawan tirani Snow, dan memberontak tidak harus melulu tembak menembak atau ledakan disana sini kan, apalagi yang dihadapi disini adalah Snow, yang punya kuasa dan mungkin mampu melakukan apa saja, tidak hanya menyakiti Katniss secara lahir, tapi juga secara batin lewat orang-orang yang dicintai Katniss. Akuilah bahawa kisah ini berkembang jauh menjadi dewasa. Bukankah semua kisah harusnya begitu? Menjadi dewasa dan kelam?
Mari kita kembali fokus pada
filmnya. Saya tidak akan memprotes sisi aktingnya. Kita semua tahu bahwa film
ini punya jajaran casting yang kuat, dengan Jennifer Lawrence sebagai ujung
tombak dan tentu saja ia berhasil menunjukkan ketajamannya. Yang lain pun juga
sama seperti Josh Hutcherson yang masih konstan dalam berakting sebagai Peeta. Sisi
teknisnya juga tak perlu diragukan, tiga film sebelumnya sudah cukup
menggambarkan sisi teknisnya. Hal lain, Part 2 ini berhasil membangun tensinya
sendiri, perlahan dimulai dari perjalanan di Distrik 2 yang berhasil memicu
adrenalin siapapun yang menontonnya. Bermain kucing-kucingan antara kelompok
pemberontak dengan Capitol, ketegangan demi ketegangan dilemparkan, mungkin
sebagai balasan atas Part 1 yang minim hal tersebut. Penyampaiannya sudah baik,
sampai akhirnya sang Mockingjay mendekati garis terdepan, dimana keberadaan
salahsatu tokoh penting disini harus dihilangkan. Di titik ini saya mulai
sedikit frustasi, kenapa kematiannya begitu kurang didramatisir? Padahal ia
adalah tokoh penting disini, awal mula kisah ini ada di dia, kenapa begitu
mudahnya? Emosi dalam film ini kurang tergali. Semuanya begitu cepat tanpa menjadi
sesuatu yang memorable. Begitu antiklimaks sehingga membuat penonton yang tidak
begitu mengenal kisahnya lewat novel akan memprotes film ini. Yah walaupun
akting Jennifer Lawrence pada akhirnya menjadi jawaban, sebuah emosi yang
mungkin hanya berjalan tidak sampai lima menit, tapi rasanya semua emosi yang
dipendam Katniss akhirnya ditumpahkan lewat seekor kucing bernama Buttercup.
Tapi hanya itu saja yang berkesan. Akhir dari sang antagonis pun tidak seperti
yang semua orang harapkan. Pasti komentar-komentar semacam “Udah, gitu aja kah
akhirnya?” tidak akan terhindarkan. Bahkan kisah Peeta dan Katniss, yang sebenarnya memang
bukan jualan utama saga ini, malah terasa hambar di akhir tanpa meninggalkan
kesan mendalam. Ada yang kurang, yang sepertinya tidak dijelaskan oleh filmnya,
yang membuat akhirnya muncul berbagai pertanyaan. Banyak yang mengakui, Mockingjay adalah seri terlemah dalam kisah novel Hunger Games. Memang filmnya berakhir sama
persis seperti novelnya, tapi saya tidak akan heran kalau akhirnya penonton
awam akan sebal dengan eksekusi ini. Kalau buat saya pribadi, film ini bukan film yang jelek, tapi film ini gagal meninggalkan kesan mendalam di hati penggemarnya.
Rating: 7,2/ 10
Rating: 7,2/ 10
No comments:
Post a Comment