"Bukan menggantikan, tapi melestarikan", kira-kira begitulah yang dikatakan orang-orang yang berada di balik proses produksi film ini. Memang rasanya mustahil menggantikan grup lawak yang satu ini. Meski sudah lebih dari tiga dekade, film Warkop DKI masih terus menemani di layar televisi setiap tahun. In my personal opinion, filmnya tidak pernah membosankan dan leluconnya tidak pernah mati. Ketika masih rilis di bioskop dulu pada era 80-an, antrian panjang mengular setiap lebaran dan tahun baru demi film warkop. Ketika perfilman lokal mati suri di tahun 90-an, Warkop pun pindah ke layar tv meskipun tak sebooming filmnya. Bahkan pasca meninggalnya personel warkop, yakni Kasino di tahun 1997 kemudian disusul Dono di tahun 2001, film-film warkop masih terus menemani setiap lebaran di layar tv dan lawakannya terus hidup dari generasi ke generasi hingga saat ini. Besarnya nama warkop DKI membuat Falcon Pictures tertarik untuk 'menghidupkan' kembali film warkop di layar lebar yang beruntungnya direstui juga oleh satu-satunya personel yang masih hidup, Indro. Ide ini terdengar cukup gila sekaligus ambisius. Meraih animo penonton sudah pasti, namun apakah sesuai ekspektasi? Belum tentu.
Nasib film ini diserahkan sepenuhnya kepada Anggy Umbara yang dikenal lewat Comic 8 beserta sekuelnya. Warkop DKI Reborn ini memilih mengangkat kisah dari film Warkop DKI terdahulu, CHIPS (Cara Hebat Ikut-ikutan Penanggulangan Sosial), dimana Dono (Abimana Aryasatya), Kasino (Vino G Bastian) dan Indro (Tora Sudiro) adalah anggota dari lembaga swasta tersebut. Seperti biasa mereka bertiga hampir selalu ketiban sial yang berujung kekacauan setiap menjalankan aktivitasnya hingga membuat si Boss (Ence Bagus) pun geregetan. Hingga akhirnya mereka bertiga kebagian tugas untuk menangkap para begal yang sudah meresahkan warga dengan bantuan anggota Chips dari Perancis, Sophie (Hannah Al Rasyid).
Bukan perkara gampang memberikan nyawa pada sesuatu yang sudah melegenda. Tentunya kekhawatiran muncul di benak penonton yang sudah tahu betul karakteristik film Warkop. Faktanya beberapa adegan dalam film ini mampu membangkitkan nostalgia terhadap film-film lawasnya, terutama selipan-selipan judul film warkop terdahulu dalam dialog-dialognya. Potret kehidupan ibukota, kejar-kejaran di jalanan Jakarta, sindiran sosial dan tentu saja cewek-cewek cantik dan seksi dihadirkan, sama seperti film-filmnya terdahulu. Tentu saja tidak ada yang berharap pada plotnya, toh plot cerita film-film warkop terdahulu memang tidak jelas, murni sebuah film komedi meskipun apabila ditarik garis lurus plotnya tetap 'nyambung' dari awal sampai akhir. Unsur komedinya masih dipertahankan, termasuk celetukan-celetukan serta umpatan-umpatan kasarnya. Beberapa berhasil mengundang tawa, meskipun tidak sedikit pula yang jatuhnya jadi garing. Satu contoh yang cukup menonjol misalnya lagu Nyanyian Kode legendaris yang memang mampu membangkitkan nostalgia bagi yang tahu lagi ini di Pintar-Pintar Bodoh (1980), tapi sayangnya hadir pada momen yang salah dan seolah dipaksakan sehingga terasa misplaced.
Hal yang menjadi major letdown adalah perluasan kisah yang rasanya benar-benar terlalu dipaksakan. Cerita yang digarap Anggy Umbara bersama Andy Awwe Wijaya dan Bene Dion Rajagukguk mungkin ingin memasukkan unsur kekinian yang sayangnya malah mengurangi poin plusnya. Dari niatan bayar penalti sampai bisa nyasar ke Malaysia? I mean, come on, you can do better than that. Buat saya pribadi sebenarnya jauh lebih masuk akal ke Gunung Salak yang lebih ber-taste nostalgia ketimbang jauh-jauh ke Malaysia yang malah terasa aneh dan dipaksakan untuk sebuah film warkop, bahkan untuk alasan modernisasi sekalipun. Imajinasi yang kelewat batas ini mungkin ditengarai oleh embel-embel part 1 pada judulnya. Tidak pernah ada film komedi yang dipecah menjadi dua film, apalagi untuk plot sangat-sangat sederhana macam film warkop ini. Sekuel masih mungkin, tapi untuk sebuah film komedi? Lebih baik buat dua film berbeda sekalian ketimbang satu film dibagi dua. Ini yang mengakibatkan kisahnya merembet kemana-mana sehingga filmnya sendiri terasa bertele-tele. Satu momen terbaik justru hadir lewat tampilan behind the scene sebelum end credit muncul yang benar-benar mengocok perut dan sayang sekali jika dilewatkan.
Beruntungnya film ini punya tiga aktor papan atas Indonesia. Ketiganya memberikan chemistry yang pas untuk karakter Dono Kasino dan Indro. Tora Sudiro yang memang dikenal memiliki background komedi, berhasil tampil santai, meskipun jelas terlihat ia tidak banyak mewakili karakter Indro, kecuali logat Bataknya yang juga sering dipakai Indro di film-filmnya dulu. Selebihnya kita hanya meihat Tora. Sementara Kasino bagi saya adalah karakter yang paling sulit diperankan mengingat dia adalah 'pengumpan' dalam grup. Kebanyakan celetukan-celetukan lucu datang dari beliau, dan yang kebagian tugas berat ini adalah Vino Bastian. Usaha keras Vino sebagai Kasino patut diapresiasi, ia banyak berceloteh dan mampu mengeluarkan celetukan-celetukan secara spontan meskipun kadang suaranya yang agak cempreng cukup mengganggu saat melihatnya dalam wujud dan gestur serupa Kasino. Namun yang paling layak diberikan kredit lebih adalah Abimana Aryasatya yang memerankan karakter Dono, si obyek penderita. Abimana memberikan penampilan lebih dari sekedar wig, gigi palsu dan perut buncit palsu. Ia berhasil menampilkan performa luar biasa serta mimicking lewat tingkah polah dan gaya bicara yang bahkan sulit dipercaya bahwa itu bukanlah Dono. Sementara Indro masih dapat jatah tampil, sayangnya porsinya kurang perlu dan jatuhnya malah jadi aneh
Interprestasi setiap orang memang berbeda dalam menyikapi film ini, namun saya yakin film ini bisa tampil jauh lebih baik, apalagi bukan main-main dengan membawa nama besar Warkop DKI. Secara keseluruhan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 ini mampu memberikan aroma nostalgia sekaligus menghibur meskipun tidak sedikit pula jokes-nya yang gagal menghadirkan tawa. Usaha menghidupkan kembali Warkop DKI memang patut diapresiasi sementara usaha memecah filmnya menjadi dua adalah benar-benar sesuatu yang tidak perlu.
Rating: 6.9/ 10
Based On: Its widely imaginative plot and splitting the movie in two parts that aren't too necessary, but some jokes successfully bring nostalgic moments and Abimana's performance clearly save the day
cool mba!!
ReplyDeletekamu kok tau2 nongol sih fit wkwkwkwkwk
Delete