Jan 18, 2017

La La Land Review

"How are you gonna be a revolutionary if you're such a traditionalist?"
Genre musikal jelas bukan satu genre terdepan di era teknologi canggih full CGI saat ini. Musikal pernah jadi favorit puluhan tahun lalu, hingga kemudian terobosan demi terobosan membuat musikal tak pernah benar-benar kembali ke era jayanya dulu. Damien Chazelle, yang dua tahun lalu pernah sukses mengisahkan perjuangan drummer jazz lewat Whiplash, menyadari hal ini dan punya ide cukup gila untuk mewujudkan film musikal yang diinspirasi dari sederet film musikal klasik berjudul La La Land. Baru-baru ini La La Land sendiri di ajang Golden Globes 2017 yang lalu berhasil menyabet 7 piala Golden Globes dari 7 nominasi, rekor piala terbanyak untuk satu film dalam sejarah Golden Globes. Cukup mencengangkan karna ini hadir dari sebuah film musikal.

Tak ada yang spesial dengan jalinan kisah La La Land. Andai bukan digarap Damien Chazelle, it might be just another story of a boy meets girl. Mia (Emma Stone) hanyalah seorang pegawai kafetaria yang bercita-cita tinggi menjadi seorang aktris, sementara Sebastian (Ryan Gosling) adalah seorang pianis idealis yang begitu mencintai jazz, berharap ia bisa membuka klub jazznya sendiri. Keduanya bertemu dan berniat mewujudkan mimpinya masing-masing. Namun perkara mewujudkan mimpi jelas bukan hal mudah, ketika ide-ide soal mimpi bertumbukan dengan kenyataan dan malah menimbulkan konflik diantara mereka.


Mimpi. La La Land memang seindah mimpi, yang pasca terbangun masih mampu membuat kita tersenyum, atau bahkan membuat kita tak mau terbangun dari mimpi indah ini. Bingung harus mulai dari mana karna La La Land dibuat begitu solid hampir di setiap aspek. Sebagai satu film musikal, presentasi lagu beserta tariannya nyaris sempurna. Lihat saja pembukanya yang energik, Another Day of Sun di hiruk pikuk kemacetan jalan Los Angeles yang jadi menarik lewat teknik long take, Someone in the Crowd yang begitu eye-catchy lewat warna warni serta pergerakan kameranya yang dinamis, adegan cantik di atas bukit lewat A Lovely Night bersama duet tap dance Ryan Gosling dan Emma Stone yang memikat, ataupun adegan di planetarium yang indah dan terasa sekali aroma musikal klasiknya. Dibalut musik garapan Justin Hurwitz yang tak pernah gagal memberi efek dramatisasi pada tiap adegan, La La Land jelas sebuah musikal yang otentik. Atau kalau ini semua masih terasa biasa saja, tunggu sampai penghujung film ini, dimana tujuh menit dream sequence yang.. ah susah diungkapkan dengan kata-kata, tujuh menit resume perjalanan sekaligus penutup yang indah. 

Omong-omong soal visual, selain banyaknya teknik long shot pada adegan musikalnya, sinematografinya juga sangat cantik lewat komposisi warna yang dipakai, entah itu dari kostum para pemainnya, atau hanya permainan warna pada backgroundnya. Desain produksinya yang bernuansa retro modern pun begitu menawan. Kemampuan Damien Chazelle tidak hanya sebatas visual yang indah, tapi juga penuturan kisahnya yang tak pernah lepas kendali. Meskipun hampir setengah penampilan filmnya tampak begitu dreamy lewat tampilannya yang sungguh cantik, La La Land menuturkan kisahnya dengan begitu nyata. Ketika Mia dan Sebastian membahas mimpi-mimpinya, atau ketika konflik mereka dalam mengejar mimpi mulai menggelayuti, semua terasa nyata. Mengejar mimpi memang tidak pernah mudah, sebagian harus menanggalkan mimpinya demi sesuatu yang lebih nyata, memilih prioritasnya apakah harus tetap konsisten pada mimpi atau harus move on namun melupakan mimpi. Bahkan sampai ke endingnya yang bittersweet pun, terasa begitu real, bahwa tak selalu kehidupan bisa merengkuh dua kebahagiaan sekaligus.



Semua aspek ini dilengkapi dengan penampilan memikat dari duo favorit Emma Stone dan Ryan Gosling. Sebagai sentral cerita, akting mereka berdua saling melengkapi satu sama lain. Chemistry mereka berdua tak perlu diragukan lagi, mereka pernah dipasangkan sebelumnya lewat Crazy, Stupid, Love (2011) dan Gangster Squad (2013).  Ryan Gosling, yang harus latihan piano dan tap dance secara intensif selama masa pra produksi, menunjukkan hasil yang luar biasa. Kemampuan aktingnya pun masih tetap terlihat menawan sebagai Sebastian yang begitu passionate. Sementara Emma Stone tampil begitu menghayati lewat audisi di penghujung film yang menyentuh sebagai Mia yang rapuh, salahsatu penampilan terbaik Stone sepanjang karir aktingnya. Keduanya memang bukan pilihan terbaik untuk urusan menyanyi dan menari, bagaimanapun Ryan Gosling dan Emma Stone bukanlah Fred Astaire dan Ginger Rogers yang punya basic menari, namun usaha mereka berdua patut diapresiasi, karena toh roda penggerak film ini adalah chemistry mereka berdua yang mampu membuat kita betah duduk di bangku penonton selama 128 menit.

La La Land memang bukan hal yang benar-benar baru. Ia menggunakan formula lama film klasik (ada deretan adegan yang mengingatkan pada film klasik macam Singin’ in the Rain atau Funny Face), pada kisah biasa namun dikemas dengan kadar yang tepat, bernuansa modern dan dipadu dengan musik yang mampu menyentuh emosi. Jadi kalau nanti film ini berjaya di Oscar, saya tak heran. Saya sendiri sudah dua kali menyaksikannya di bioskop dengan perasaan yang sama ketika keluar dari bioskop, jatuh cinta dan patah hati secara bersamaan, sambil tersenyum dengan mata yang basah. Satu tribute terhadap film musikal yang sulit untuk dibenci.

Rating: 9/ 10
The Verdict: It ain't just a movie, it was a pure magic. La La Land is a triumph for musicals, beautiful combination of musics and visual, and also a charming chemistry from Emma Stone and Ryan Gosling

No comments:

Post a Comment