Jun 20, 2012

Soegija Review


"Apa artinya terlahir sebagai bangsa yang merdeka jika gagal untuk mendidik diri sendiri?"
Garin Nugroho merupakan salahsatu sineas perfilman Indonesia yang sudah pasti paten melahirkan sebuah karya film yang menjanjikan dari segi cerita maupun sinematografi. Kali ini ia mengangkat sekelumit kehidupan Mgr. Albertus Soegijapranata. Sebagian besar dari kita pasti punya pertanyaan yang sama, who is Soegija? Well, nama tersebut mungkin asing di telinga generasi muda sekarang, even for me. Soegija adalah seorang uskup pribumi pertama yang diangkap oleh Gereja Katolik Indonesia. Jangan salah sangka, film ini tidak memiliki unsur kristenisasi seperti anggapan dan tudingan FPI. Malah saya berpikir dangkal sekali orang yang memiliki pikiran jika film ini dianggap menyelipkan upaya kristenisasi. Walaupun tokoh utamanya adalah seorang uskup, sama sekali tidak ada unsur agama yang mendetail. Malahan film ini kebanyakan bercerita tentang perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Dan, bagi yang belum tau, Mgr. Soegija merupakan salahsatu pahlawan nasional Indonesia.

Mgr. Soegija (Nirwan Dewanto) ditahbiskan sebagai uskup pertama pribumi oleh Gereja Katolik Indonesia pada tahun 1940, dimana kondisi bangsa Indonesia pada saat itu masih dalam jajahan Belanda. Sebagai seorang uskup, beliau memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi terhadap seluruh umat manusia. Dalam kehidupan Soegija sendiri terselip kisah lain seperti Mariyem (Annisa Hertami), seorang gadis pribumi yang kehilangan kakaknya karena perang. Hendrick (Wouter Braaf), pemuda berkewarganegaraan Belanda yang meliput berita di Indonesia dan jatuh cinta pada Mariyem, namun Mariyem sudah kepalang tanggung membenci Belanda karena ia beranggapan bahwa semua kekacauan di negerinya disebabkan oleh Belanda. Adapula Ling-Ling, seorang gadis kecil oriental yang terpaksa harus berpisah dengan ibunya  pada masa pendudukan Jepang. Nobuzuki, seorang jendral asal Jepang yang juga terpisah dengan anak istrinya karna harus memimpin tentara Jepang di Indonesia. Robert, seorang tentara Belanda yang jelas memiliki tingkat kegilaan tinggi terhadap perang namun ternyata merindukan ibunya serta Banteng, seorang gerilyawan muda yang memiliki nyali tidak setinggi pemikirannya. Masing-masing kisah mereka mengiringi perjalanan Soegija dalam memperjuangkan kemanusiaan.

Entah kenapa, ketika menonton film ini saya merasa 'Soegija' seperti kehilangan fokus. Seandainya cerita film ini lebih berfokus pada sudut pandang seorang Soegija, mungkin film ini akan terasa jauh lebih menarik. Banyaknya karakter bertumpuk menjadi satu dan saling berdesak-desakan sehingga Soegija sendiri hanya kebagian porsi sedikit. Saya tau film ini bukan biografi Soegija, hanya saja judul yang diberikan kurang bergitu menggambarkan isi ceritanya. Ketika menonton saya beranggapan bahwa Soegija adalah tokoh utama, namun agaknya susah menanamkan pola pikir tersebut karna sepanjang film plot antara satu tokoh dengan tokoh yang lain saling tumpang tindih yang akhirnya menghasilkan suatu jalinan cerita yang kurang rapi. Bahkan malah kisah Mariyem lebih menonjol dibandingkan Soegija sendiri.



Beruntung akting yang ditampilkan para pemeran dalam film ini cukup baik. Nirwan Dewanto cukup baik dalam memerankan Soegija walaupun tidak mencuri perhatian. Namun bagi saya, pemberi nyawa di film ini adalah Annisa Hertami sebagai Mariyem, Wouter Braaf sebagai Hendrick dan terutama Wouter Zweers yang memerankan Robert dengan sangat baik. Walaupun karakter yang ditampilkan adalah karakter antagonis, namun saya terus menunggu kehadiran tokoh Robert. Hal ini dikarenakan aktingnya yang baik dan menggambarkan kegilaan seorang tentara Belanda, entah mengingatkan saya sedikit akan kegilaan tentara Nazi. Begitu pula Mariyem yang memberikan kisah love-hate relationship dengan Hendrick Chemistry keduanya cukup nampak sehingga saya bisa menikmati interaksi mereka.

Masih ada hal lain yang menjadi poin plus yakni sinematografi film ini yang indah antara adegan satu dengan adegan lainnya. Detail-detail lain seperti kostum dan pemilihan lokasi juga mendukung aspek visual dari film ini. Dan jangan lupakan score megah dan indah arahan Djaduk Ferianto. Kombinasi antara sinematografi dan score tersebut akan membawa kita seolah-olah masuk ke dalam time capsule ke zaman penjajahan, dimana kita sendiri ikut merasakan betapa pedihnya perang itu sendiri.

Overall, ini mungkin bukan karya terbaik Garin Nugroho. Ceritanya yang kurang fokus akan membuat sebagian besar penonton bosan, apalagi pace film ini berjalan sangat lambat. Tapi masih ada hal positif dari film ini, film ini dibuat dengan serius dan penuh niat serta rasa cinta akan bangsa dan sejarah, jadi sangat layak untuk mendapat apresiasi. Kalau memang bukan pecinta genre film artistik dan mencari hanya mencari suguhan hiburan, lebih baik jangan saksikan film ini. Tapi jelas saya lebih mengapresiasi orang yang menyaksikan film ini ketimbang film yang murahan yang menjual nama tokoh terkenal namun kenyatannya tidak ada tokoh tersebut di dalam filmnya.

Rating: 7/ 10

No comments:

Post a Comment