May 12, 2013

9 Summers 10 Autumns Review


"Memori masa kecil membuat aku bijak dalam mengenal diriku sekarang"

Saat ini bisa dibilang sulit mengembalikan kepercayaan penonton Indonesia untuk menikmati film karya anak bangsa. Bagaimana tidak, menonton film Indonesia di bioskop itu seperti sebuah taruhan besar, kalau tidak merasa puas sekali, ya pasti merasa rugi besar. Saya tidak mau munafik, saya pun tergolong susah untuk diajak nonton film Indonesia di bioskop. Alasannya sederhana, saya tidak mau membuang-buang uang untuk film medioker dengan penggarapan seadanya atau simpelnya seperti sinetron masuk bioskop. Harus diakui, saya hanya mau menyimak film lokal karya sutradara yang sudah punya kredit, film yang dapat review bagus dari kritikus lokal atau film-film yang masuk festival di luar negeri. Jujur, kalau film 9 Summers 10 Autumns ini bukan garapan sutradara Ifa Ifansyah, yang pernah memenangkan piala Citra kategori sutradara terbaik lewat film Sang Penari, mungkin saya akan melewatkan film ini. Film ini merupakan film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Iwan Setyawan.

Sejak kecil, Iwan Setyawan, atau panggilan keluarganya Bayek, sudah dididik oleh bapaknya (Alex Komang) dengan keras. Pokoknya jadi anak laki-laki harus kuat dan tangguh, tidak boleh lembek. Namun lingkungannya, dengan 4 saudara perempuan di sekitarnya, membentuknya menjadi pribadi yang tidak sesuai dengan keinginan Bapaknya. Kehidupannya yang serba kekurangan memberi pelajaran bagi Iwan, ia tidak mau terus-terusan hidup susah. Beruntung ia punya ibu (Dewi Irawan) yang tiada hentinya memberikan support.  Iwan yang dasarnya memang pintar, berjuang untuk meraih mimpinya sendiri. Berangkat dari sebuah kota kecil di Malang, ia berhasil mewujudkan mimpinya hingga ke New York.

 
Sedikit curhat, sepanjang saya menyaksikan film ini, ada kedekatan antara diri saya dan sosok Iwan. Selain sama-sama punya background yang sama yaitu Jawa, saya dan Iwan sama-sama punya orangtua yang sedikit banyak punya persamaan, bahkan kondisi ekonomi yang nyaris mirip. Yang berbeda adalah Iwan super jenius dengan angka dan sudah pernah ke New York, kalau saya belum. Kembali ke review, film ini memberikan penggambaran yang pas soal perjuangan kehidupan. Cerita mengalir lancar, apa adanya serta enak diikuti. Kisahnya yang memang sederhana berhasil divisualisasikan dengan sangat baik oleh Ifa Ifansyah. Ditambah desain produksi yang melengkapi film ini dengan baik. Mulai dari pemandangan kota Batu  hingga New York serta kostumnya yang otentik dengan setting waktu. Bahkan kita ikut merasakan kesendirian sosok Iwan di tengah hiruk pikuknya kota New York. Dialognya juga simpel, ditambah humor yang bisa membuat kita tersenyum simpul ketika mendengarnya. Jatuhnya justru tidak berlebihan seperti sinetron, malah terlihat pas dan sangat-sangat nyaman untuk diikuti.

Film yang sederhana biasanya punya nilai plus dari departemen akting, begitu pula dengan film ini. Alex Komang yang memang sudah malang melintang di dunia akting berhasil menggambarkan sosok Bapak yang keras, namun dibalik itu sangat terlihat kalau ia menyayangi anaknya. Pun begitu dengan Dewi Irawan yang sanggup membuat kita termenung dan mengingat kembali semua jasa ibu yang telah membesarkan kita. Kedua aktor ini sangat-sangat baik memerankan sosok orangtua yang berjuang demi anak-anaknya. Bahkan logat jawa pun mereka kuasai dengan sempurna. Secara mengejutkan Ihsan Tarore pun juga berhasil memberikan nyawa pada sosok Iwan yang tak kenal kata menyerah. Bahkan pemeran Iwan kecil, Shafil Hamdi Nawara, berhasil menumpahkan seluruh emosinya dalam tokoh Iwan. Pemeran-pemeran pendukung seperti Agni Prastita, Dira Sugandi Epy Kusnandar dan bahkan Emce Bagus pun tidak sedikitpun memberikan kecacatan dalam aktingnya. 


Dari sekian banyak film Indonesia yang inspiratif, film inilah yang saya favoritkan sejauh ini. Sebuah film Indonesia yang berhasil memberikan gambaran kehidupan tanpa banyak menggurui. Film seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia untuk bangkit. Sederhana dan menyentuh nurani, bahkan membuat kita ingat kembali akan siapa diri kita kalau saja tanpa orang tua kita. Secara keseluruhan, film ini memberikan tidak hanya kepuasan setelah menonton, tapi juga memberikan kita waktu untuk bercermin atas diri kita. Sebuah film Indonesia yang tidak hanya sangat bagus, tapi juga inspiratif tanpa menjual mimpi.

Rating: 8/ 10

No comments:

Post a Comment