May 20, 2013

Star Trek Into Darkness Review


"My crew is my family. Is there anything you would not do for your family?"

Tahun 2009, J.J Abrams berhasil menggarap sebuah film fiksi ilmiah yang notabene sudah punya fanbase yang cukup besar di dunia. Ya, tentu saja kita sedang membicarakan Star Trek. I'm not a Trekkie dan tidak tahu apa-apa soal Star Trek. Jadi, ketika menyaksikan Star Trek dulu, saya cuma berharap bisa bertahan sampai akhir. Siapa sangka, J.J Abrams berhasil membuat saya jatuh cinta dengan Star Trek garapannya dan mampu membuat saya nyaris menjadi Trekkie. Untuk sebuah film yang sukses, apalagi untuk ukuran franchise sebesar Star Trek, tentu saja mustahil untuk mengabaikan pembuatan sekuel. Beruntung pihak studio berhasil mengembalikan semua awak U.S.S Enterprise dan masih disutradarai oleh J.J Abrams, otak dibalik kesuksesan Star Trek, dalam sebuah sekuel berjudul Star Trek Into Darkness. Tidak sampai disitu, ada Benedict Cumberbatch hadir sebagai tokoh antagonis yang sudah memancing banyak dugaan, terutama di kalangan Trekkies. Tapi sekali lagi, saya bukan Trekkie, jadi kurang begitu peduli dengan banyaknya dugaan yang berkeliaran di internet.

Dimulai dengan sebuah misi penjelajahan yang malah berubah menjadi misi penyelamatan di planet Nibiru, Captain James T. Kirk (Chris Pine) harus menerima hukuman karena memalsukan laporan perjalanannya, mengakibatkan ia turun jabatan dan Spock (Zachary Quinto) dipindahtugaskan ke pesawat lain. Namun Admiral Pike (Bruce Greenwood) masih memberikan kepercayaan kepada Kirk dan mengangkatnya menjadi First Officer dari U.S.S Enterprise. Tiba-tiba sebuah serangan terjadi di Starfleet Archieve, London, serta penembakan di Starfleet HQ yang didalangi oleh John Harrison (Benedict Cumberbatch). Dibayangi dendam, Kirk mengajukan diri kepada Admiral Marcus (Peter Weller) agar bisa mengejar Harrison ke Planet Kronos, sebuah tempat yang tergolong 'untouchable' bagi Federasi karna penduduknya, bangsa Klingon, terlibat perselisihan dengan Federasi. Admiral Marcus menyetujui dan memerintahkan Kirk untuk langsung membunuh Harrison dengan torpedo khusus. Kirk setuju dan mengajukan Spock sebagai First Officer-nya. Misi yang semula mudah menjadi lebih rumit dari yang Kirk kira ketika Harrison malah berbalik menolongnya dari serangan Klingon dan membeberkan fakta tentang dirinya dan konspirasi yang terjadi, yang berujung dengan keselamatan seluruh kru Enterprise.


Since I'm not a Trekkie, let's see this movie in a non-Trekkies' point of view. Script yang digarap 'keroyokan' oleh Roberto Orci, Alex Kurtzman dan Damon Lindelof bisa dibilang jauh lebih deep ketimbang film pertamanya. Kali ini ada begitu banyak unsur khas Star Trek yang sudah dikenal fansnya dari serial tv dan filmnya. Dengan twist berlapis (walaupun setengahnya sudah berhamburan di internet akibat spekulasi para Trekkies), penonton dibuat berpikir, sejauh mana J.J Abrams berani berkreasi dan membawa Star Trek kali ini.  Dialog-dialog yang sangat ilmiah membanjiri adegan, sehingga jujur saja untuk penonton awam mungkin akan sulit menerima. Dan sayangnya, penonton awam tidak diberi kesempatan sama sekali untuk mengenal lebih jauh tentang detailnya, misalnya apa itu Klingon dan mengapa pihak Federasi dan Klingon berkonfrontasi. Meskipun begitu, konsep yang dibangun J.J Abrams berhasil membuat penonton non Trekkies menikmati jalinan cerita yang diberikan. Terlepas dari adanya beberapa plot hole, jujur saja Star Trek Into Darkness lebih mudah dicintai oleh penonton awam. Alasannya tentu saja visual effectnya yang spektakuler. Dengan setting jauh di masa depan, J.J Abrams berhasil mem-push VFX film ini hingga ke level maksimal. Hasilnya adalah sebuah visual yang megah sekaligus mengagumkan, sehingga berhasil membawa penonton ikut larut dalam perjalanan U.S.S Enterprise. Ditambah lagi scoring dari Michael Giachinno yang menggelegar di bioskop, berhasil menambahkan emosi di setiap adegannya. Belum lagi detil-detil desain produksi seperti tampilan planet Nibiru dan Kronos plus penduduk pribuminya yang nampak real.

Satu lagi yang saya suka adalah castnya. Kru Enterprise yang sudah berhasil tampil baik di film pertama, berhasil memperkuat kembali chemistry yang pernah ada. Mulai dari Chris Pine, Zachary Quinto, Zoe Saldana, John Choo, Anton Yelchin, Karl Urban dan Simon Pegg bekerja sama dengan luar biasa baiknya, plus tambahan pemanis Alice Eve sebagai dr. Carol Wallace yang secara mengejutkan berhasil membaur dengan karakter yang ada. Khusus untuk Chris Pine dan Zachary Quinto, keduanya berhasil menampilkan sebuah chemistry yang jauh berkembang dari film pertama. Belum lagi jokes yang hadir antar pemain-pemainnya (terutama dari karakter Scotty dan Bones, atau Kirk yang mengejek Spock) berhasil memancing senyum penonton. Penampilan yang lebih berkesan hadir dari Benedict Cumberbatch. Ekspresi dingin yang ia tampilkan lewat tatapan matanya beserta gesturnya berhasil meyakinkan penonton betapa kejamnya sosok John Harrison, menjadikan karakternya memorable, terlepas dari kenyataan siapa John Harrison sebenarnya. Belum lagi tambahan aktor senior seperti Peter Weller dan Bruce Greenwood yang menambah warna film ini. Benar-benar sebuah kombinasi casting yang memuaskan.


Star Trek Into Darkness sejauh ini menjadi summer movie favorit saya. Visual effect yang mengagumkan ditambah cerita yang cukup complicated plus kombinasi casting yang perfect menjadikan film ini nyaris sukses di berbagai aspek. Sekali lagi, J.J Abrams berhasil membawa penonton masuk ke dalam kisah petualangan Star Trek generasi baru, baik Trekkies maupun penonton yang buta dunia Star Trek, dalam balutan kombinasi visual dan cerita yang berbanding lurus sehingga berhasil memuaskan penonton. J.J Abrams successfully brought the audience to the outer space to feel the adventure with the whole crew of U.S.S Enterprise and brought this franchise to the new level.

Rating: 8.5/ 10

No comments:

Post a Comment