Aug 28, 2013

Percy Jackson: Sea of Monsters Review

 

"Forget about the oracle.  You don’t like your destiny?  Write a new one!"

Percy Jackson akhirnya kembali lagi ke layar lebar. Percy Jackson & The Olympians: The Lightning Thief  yang dirilis tahun 2010 tidak bisa dibilang gagal, namun tidak bisa dibilang luar biasa sukses juga. Setidaknya film tersebut tidak sampai membuat produsernya sakit kepala karna tidak balik modal, meskipun akhirnya sekuel film yang diangkat dari novel karya Rick Riordan ini perlu waktu tiga tahun untuk comeback ke layar lebar. Dengan mengusung subjudul Sea of Monsters, yang juga merupakan buku kedua dari keseluruhan seri petualangan Percy Jackson, film ini masih mempercayakan peran utamanya kepada Logan Lerman yang saat ini punya karir yang jauh berkembang dibanding saat film pertamanya dirilis. Namun kali ini Chris Columbus tidak kembali menduduki kursi sutradara, melainkan berpindah tangan ke Thor Freudenthal. Not familiar with this man? Mungkin karena ia memang belum punya film besar, karena sejauh ini mungkin hanya Diary of a Wimpy Kid yang paling dikenal publik.

Walaupun Percy Jackson (Logan Lerman), anak dari Poseidon, sudah menyelamatkan dunia dari kemurkaan Zeus, tetap saja ia tidak mampu bersaing melawan Clarisse La Rue (Leven Rambin), putri dari dewa Ares, dalam setiap latihan di Camp Half-Blood. Ketika sebuah serangan terjadi dan diketahui bahwa pohon Thalia yang selama ini berfungsi sebagai pelindung Camp Half-Blood dari serangan kekuatan jahat diracun, Dionysus (Stanley Tucci) sang kepala Camp, lebih memilih Clarisse untuk mencari Golden Fleece demi memulihkan pohon Thalia ketimbang Percy. Namun pada akhirnya Percy bersama sahabatnya Annabeth Chase (Alexandra Daddario), putri dari Athena dan Grover Underwood (Brandon T. Jackson), seorang satyr, memutuskan untuk melakukan perjalanan mereka sendiri demi pencarian Golden Fleece di Sea of Monsters. Tidak sampai disitu, karena Percy dikejutkan dengan kedatangan saudara tirinya yang juga putra dari Poseidon bernama Tyson (Douglas Smith) yang merupakan seorang Cyclops yang juga ikut dalam pencarian Golden Fleece ini. Bagi Percy, perjalanan ini bukan perjalanan biasa karena dalam perjalanan ini ia bertemu lagi dengan musuh lamanya dan juga menyangkut ramalan mengenai dirinya yang kemungkinan akan menyelamatkan Olympus atau malah menghancurkannya. 


Percy Jackson punya materi yang bagus sebagai sebuah film fantasi. Satu-satunya saingan terbesar Percy Jackson sebenarnya mungkin hanya Harry Potter, yang sudah tamat baik di atas kertas maupun di layar lebar. Mengangkat mitologi Yunani ke dalam literatur modern bukanlah perkara mudah. Sayangnya, film ini punya level yang jauh jika ingin dibandingkan dengan Harry Potter. Materi yang kuat sayangnya dimentahkan begitu saja oleh Marc Guggenheim selaku penulis naskah. Mungkin film ini menghibur, namun sebuah film fantasi dengan mitologi Yunani yang begitu kental di dalamnya, film ini tidaklah memiliki pondasi yang kuat dalam naskahnya. Terlalu banyak lelucon yang sebenarnya bisa dihilangkan namun tetap saja dilemparkan dan malah membuat film ini kehilangan sentuhannya. Bisa dipahami mengingat Thor Freudenthal lebih berpengalaman di film komedi keluarga ketimbang fantasi. Namun ketika hal sebesar mitologi Yunani tidak digarap maksimal, tentunya akan mengecewekan banyak pihak.

Belum lagi efek CGI-nya yang, yah, tidak sekuat film fantasai umumnya. Padahal banyak sekali makhluk-makhluk dari mitologi Yunani yang ditampilkan, seperti Colchis Bull, Hippocampus hingga Kronos yang, sekali lagi saya menyebutkan, tidak maksimal. Bahkan ada karakter-karakter yang terkesan 'tidak ada pun sebenarnya tidak masalah'. Pendalaman untuk karakter-karakter barunya pun sama tidak maksimalnya, akibatnya kita tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi dengan mereka. Kita hanya peduli soal Percy. Entah bagaimana dengan novelnya, karena saya bukan pembaca novelnya. Beruntung, kemampuan akting Logan Lerman sudah jauh meningkat dibanding film pertamanya, meskipun tidak bisa menandingi aktingnya di Perks of Being a Wallflower. Begitu pula dengan Alexandra Daddario yang tidak hanya cantik namun mampu membangun chemistry yang cukup nyaman dilihat dengan Lerman. Pemeran lainnya tidak spesial, mungkin hanya paras pemerannya yang spesial, selebihnya tidak. Sedangkan untuk aktor seniornya seperti Stanley Tucci, Nathan Fillian dan Anthony Head tampil tidak mengecewakan meskipun kesempatan tampilnya memang terbatas.


Terlepas dari lemahnya gaya penceritaan Thor Freudenthal dalam mempresentasikan Percy Jackson, film ini masih menghibur sebagai film keluarga, apalagi jokes-nya memang menghibur walaupun akhirnya jadi membosankan karena terlalu sering dilemparkan. Namun ketika kita mengaitkan film ini sebagai film fantasi yang harusnya maha besar dan epik, itu jauh dari harapan. Entah apa yang terjadi dengan seri Percy Jackson selanjutnya, Titan's Curse, karena jujur saja dua film pendahulunya masih jauh di bawah jika ingin dibandingkan dengan 'saudara terdekat'nya, Harry potter. Belum lagi mereka harus kejar-kejaran dengan usia Logan Lerman dkk yang semakin tua. Yang pasti, kepastian mengenai kelanjutan seri Percy Jackson bisa diketahui setelah melihat pendapatan box office-nya. Yah, kita tunggu saja. Because in Hollywood, anything could happen.

Rating: 6.5/ 10

No comments:

Post a Comment