Sep 3, 2013

The Mortal Instruments: City of Bones Review

"Everything you've heard... about monsters, about nightmares, legends whispered around campfires. All the stories are true"
Hollywood tidak akan pernah habis menggali novel-novel best seller yang berpotensi sukses untuk diangkat ke layar lebar. Setelah kesuksesan Harry Potter, Twilight dan yang paling populer akhir-akhir ini, Hunger Games, Hollywood terus-terusan mencari penggantinya, terutama novel yang memiliki fan base besar di dunia. Setelah di awal tahun ada Beautiful Creatures dan The Host yang dihajar habis-habisan dari segi box office dan critical responses, kali ini giliran novel karangan Cassandra Clare yang berjudul The Mortal Instruments: City of Bones yang difilmkan. Novel bergenre young adult fantasi ini melalui perjalanan yang cukup panjang sebelum berpindah dari media buku ke film, karena kebanyakan studio tidak mau menerima karakter wanita sebagai tokoh utama. Memasang Harald Zwart sebagai sutradara, orang yang membuat Jaden Smith menjadi total stranger di China dan akhirnya belajar kungfu dari Jackie Chan dalam The Karate Kid, film ini juga memasang si cantik Lily Collins sebagai pemeran utamanya.

Hidup Clary Fray (Lili Collins) yang mulanya tenang berubah ketika ulangtahunnya yang ke-15, dimana ia menyaksikan pembunuhan di sebuah night club. Anehnya, tidak ada seorang pun yang menyaksikan pembunuhan tersebut kecuali dirinya. Padahal sahabatnya, Simon Lewis (Robert Sheehan) juga berada di tempat yang sama. Beberapa hari kemudian, ibunya, Jocelyn Fray (Lena Headay), menghilang dan ia diserang makhluk aneh. Kebingungan, Clary bertemu kembali dengan Jace Wayland (Jamie Campbell Bower), pemuda yang sama yang ia lihat melakukan pembunuhan di night club. Dari Jace lah ia tahu bahwa dirinya adalah shadowhunters, setengah manusia-setengah malaikat yang bertugas membasmi iblis di muka bumi. Ia juga akhirnya mengetahui bahwa ibunya menyembunyikan Mortal Cup, salahsatu dari Mortal Instrument yang diincar Valentine Morgenstern (Jonathan Rhys Meyers), seorang mantan shadowhunters yang ingin menguasai seluruh iblis dan shadowhunters untuk menciptakan tentaranya sendiri. Maka dimulailah petualangan Clary bersama Jace mencari Mortal Cup sekaligus ibunya yang hilang. 


Seharusnya dengan materi fantasi yang cukup menarik ini, The Mortal Instruments: City of Bones bisa menggaet lebih banyak lagi non fans. Tapi yang terjadi sayangnya tidak seperti itu. Mortal Instruments dibuka cukup pelan namun terlihat menjanjikan, berubah berjalan terseok-seok dengan ceritanya yang mengalir begitu lambat. Belum lagi banyaknya karakter yang seolah disempalkan begitu saja yang malah membuat penonton awam harus garuk kepala karena kebingungan. Hal ini diperparah dengan dialog yang begitu cheesy antara karakter-karakternya ("if you want me to take my shirt off, you just need to ask"? seriously?). Entah apa yang terjadi dengan penonton yang lainnya, tapi saya pribadi harus menguap berkali-kali ketika menyaksikan film ini. Beberapa dialog yang dimaksudkan sebagai lelucon malah tidak terdengar lucu sama sekali dan dialog yang dimaksudkan untuk meningkatkan level romance malah jatuhnya seperti lelucon. Entah bagaimana dengan novelnya, tapi yang jelas dialog dalam naskah garapan Jessica Postigo Paquette ini terdengar begitu menggelikan. But wait, terlalu banyak menderita di naskah tapi Mortal Instruments setidaknya punya special effect yang tidak jelek. Beberapa makhluk ditampilkan nyaris realistis, plus musik pengiring yang enak didengar. Setidaknya dua hal ini mampu mengangkat derajat film ini.

Tapi sayangnya, jajaran cast-nya malah melemahkan film ini, karena setengahnya berakting bak manekin .Paras cantik Lily Collins bahkan tidak mampu menyelamatkan film ini. Oke, bagi penonton pria mungkin bisa terhibur menyaksikan wajah Lily Collins, tapi saya, tidak. Hal ini masih diperparah dengan penampilan Jamie Campbell Bower yang, I don't want to sound really rude, sangat menyedihkan. Chemistry yang dibangun antara Lily Collins dan Jamie Campbell Bower sekaku batu, awkward dan terlihat aneh, menyebabkan aura romantis antara dua karakter menguap begitu saja. Beberapa pemain lain seperti Robert Sheehan atau bahkan Kevin Zegers tidak membantu banyak, karena memang mereka, terutama Kevin, tidak diberi kesempatan begitu banyak untuk tampil. Bumbu kisah cinta segitiga (yang lama-lama memuakkan) terasa hambar karena dibawakan tanpa feeling oleh pemerannya. Setidaknya penampilan Jonathan Rhys Meyers sebagai Valentine bisa dibilang yang terbaik dari film ini, karena jujur saja, amat sulit mencari aktor yang bermain bagus dalam film ini. 


Satu lagi novel yang gagal ketika diangkat ke layar lebar. Kesalahan terbesar film ini adalah Harald Zwart lebih menekankan unsur romance yang salah tempat sehingga mengakibatkan film ini kehilangan fokus. Perasaan saya mengatakan bahwa film ini lebih diarahkan mirip Twilight, yang berarti itu sebuah kesalahan besar, karena setengah populasi dunia, in my opinion, sudah muak dengan segala sesuatu yang twilight-esque. Sebagai pembuka dari keseluruhan seri, The Mortal Instruments: City of Bones bisa dibilang cukup lemah. Entah bagaimana kelanjutan seri ini, mengingat masih ada lima buku lagi yang menunggu untuk difilmkan. Sangat disayangkan karena film pembukanya begitu mengecewakan.

Rating: 5.5/10

No comments:

Post a Comment