Dec 25, 2013

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Review


"Kau yang sanggup menjadikan saya seorang yang gagah berani, kau pula yang sanggup menjadikan saya sengsara selamanya"

Saya pernah menuliskan bahwa menonton film Indonesia di bioskop adalah sebuah pertaruhan. Ya, berbicara soal film Indonesia mungkin cukup sulit, karena memang sedikit sekali film Indonesia yang punya kadar hiburan dan kualitas tinggi secara bersamaan.  Atau mungkin bisa dibilang kebanyakan penonton sudah hilang kepercayaan terhadap film Indonesia, termasuk saya. Siapa sih yang mau buang-buang uang untuk film kacangan yang sebenarnya lebih layak jadi sinetron ketimbang film bioskop? Tahun ini kebetulan ada satu novel sastra lama karya Buya Hamka yang difilmkan yang cukup menarik perhatian saya, yakni Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, setelah kegagalan Di Bawah Lindungan Ka’bah yang tidak bisa saya nilai karena hingga detik ini pun saya belum pernah tonton. Jujur saja, saya tertarik menyimak film ini karna faktor saya pernah baca novelnya, itupun karena tugas sekolah (untuk tugas resensi buku seingat saya) serta faktor Reza Rahadian yang meskipun frekuensi munculnya beberapa tahun terakhir cukup mengerikan, tapi tidak bisa dipungkiri ia memang punya kualitas akting yang bagus. Jadi saya mencoba mengambil resiko menonton film ini. Lagipula trailer juga terlihat cukup menarik.

Dikisahkan tahun 1930, Zainuddin (Herjunot Ali) adalah pemuda berdarah Minang-Bugis yang tertolak, baik di tanah Makassar maupun Minang. Ia tidak dianggap sebagai orang bugis karena berayah Minang dan tidak juga dianggap suku Minang karena beribu Bugis. Adat keduanya yang begitu ketat membuat Zainuddin tidak dianggap sebagai bagian dari suku manapun. Berkunjung ke Batipuh dengan niat mengunjungi keluarga ayahnya sekaligus belajar agama, Zainuddin malah jatuh hati pada kembang desa Batipuh bernama Hayati (Pevita Pearce). Gayung pun bersambut, Hayati juga memuja Zainuddin. Tapi Hayati yang berasal dari keluarga yang tergolong punya status social tinggi di Batipuh, menolak merestui hubungan Zainuddin dan Hayati karena status Zainuddin yang dianggap bukan dari suku Minang. Janji Hayati yang akan menunggu Zainuddin pun tinggal kenangan ketika Hayati akhirnya disunting pemuda berdarah asli Minang, Aziz (Reza Rahadian). Zainuddin yang tersakiti akhirnya berusaha bangkit dengan pindah ke tanah Jawa dan menjadi penulis. Takdir mempertemukan mereka kembali di Surabaya, namun kali ini dalam keadaan berbeda karena Zainuddin sudah menjelma menjadi penulis terkenal sementara pernikahan Aziz dan Hayati tidak berjalan mulus. Meskipun Zainuddin akhirnya mau menolong Aziz dan Hayati, rupanya ia masih sakit hati terhadap Hayati yang mengkhiananti janjinya. Karamnya kapal Van Der Wijck mengakhiri kisah dua insan yang tidak pernah bisa saling memiliki ini.


Jadi, apa yang bisa disajikan oleh PH Soraya Intercine Film, sementara novelnya sendiri tergolong novel klasik terkenal? Di tangan Sunil Soraya, sutradara yang bahkan baru kali ini namanya saya dengar (blame me, I guess) sebenarnya eksekusi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini tidak jelek-jelek amat. Durasinya cukup panjang dan melelahkan, yakni 165 menit, dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi Sunil untuk membuat filmnya sedetil mungkin, bahkan semirip mungkin dengan novelnya. Meskipun begitu, tetap saja hubungan Hayati dan Zainuddin terasa kurang tergali dengan maksimal, sehingga rasanya sulit percaya Hayati dan Zainuddin benar-benar saling jatuh cinta. Tapi yang patut diapresiasi adalah usaha duo penulis skenarionya, Donny Dhirgantoro dan Imam Tantowi yang dengan berani tetap menggunakan bahasa sastra klasik yang puitis plus 80% dialognya menggunakan bahasa Minang. Selain itu, sinematografi  digarap dengan luar biasa apik. Pemandangan desa Batipuh hingga dramatisasi adegan slow motion terlihat begitu menawan. Pergerakan kameranya juga efektif memaksimalkan keindahan adegan per adegan.

Tidak hanya itu, departemen desain produksinya bekerja maksimal. Mulai dari detil kostum, setting lokasi hingga properti yang digunakan, hampir semua menonjolkan suasana klasik dari era tahun 30-an. Terutama detil kostum yang ditangani Samuel Wattimena yang begitu menangkap penggambaran era tahun 30-an. Selain itu, properti lain yang digunakan (seperti mobil klasik) juga menambah nilai plus film ini. Walaupun dalam beberapa penggambaran penyajiannya sedikit mengingatkan pada film Great Gatsby karya Baz Luhrman. Sayang presentasi Kapal Van der Wijck-nya masih terlihat sekali polesan CGI-nya dan kurang maksimal, tapi setidaknya hal ini dapat dimaklumi karena keterbatasaan teknologi dan bujet. Jadi kalau dibandingkan dengan Titanic, jelas saja film ini berada jauh dibawahnya. Lagipula adegan tenggelamnya kapal tersebut bukan sajian utama, melainkan hanya pelengkap bagi kisah Zainuddin dan Hayati yang tragis. Ditambah musik yang digarap oleh grup band Nidji yang beberapa kali diperdengarkan sebagai backsound dengan berbagai versi cukup menggugah hati, melengkapi haru biru kisah film ini.



Penampilan Herjunot Ali sebagai Zainuddin cukup mencengangkan. Meskipun logat Bugisnya terdengar lucu di beberapa adegan, tapi saya sepenuhnya mengapresiasi usahanya dalam mendalami karakter. Terutama adegan dimana Junot harus beradu argumen dengan Pevita dan melafalkan dialog dalam sebuah adegan long take sekitar lima menit tanpa jeda benar-benar penuh emosi dan berhasil menggambarkan sosok Zainuddin yang begitu menderita. Di sisi lawan mainnya, ada Pevita yang meskipun penampilannya tidak sepenuhnya konsisten di sepanjang film, tapi setidaknya ia sudah berusaha maksimal memerankan karakter Hayati. Logat Minangnya terlihat natural meskipun chemistry-nya terasa kurang kuat dengan Junot. Sedangkan Reza Rahadian, kita sama-sama tahu bahwa Reza adalah salahsatu aktor Indonesia yang punya kualitas akting sangat bagus. Karakter Aziz tampak mudah ketika Reza yang memainkan, sehingga karakter Aziz tampak begitu meyakinkan. Sedangkan jika berbicara karakter yang paling mencuri perhatian, itu adalah karakter Muluk yang diperankan oleh Randy 'Nidji' dengan pas.

Jadi, apakah rugi menyaksikan film ini di bioskop? Tidak. Lantas, apakah film ini begitu spesial? Jawabannya bagi saya juga tidak. Tapi kalau film ini dikatakan mengecewakan, saya juga tidak akan menjawab tidak, karena bagi saya film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini sudah digarap dengan maksimal dengan riset yang mendalam, dan hasilnya pun sesuai, bahkan sedikit melebihi ekspektasi saya. Film ini berusaha mensejajarkan diri dengan film-film garapan Hollywood tanpa melupakan unsur kedaerahannya. Sekali lagi, sinematografi, desain produksi serta akting dari Junot dan Reza berhasil memenangkan hati saya, walaupun durasinya cukup panjang dan penggambaran hubungan Hayati dan Zainuddin yang kurang mendalam. Kalau perfilman Indonesia secara konsisten menyajikan film yang digarap macam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini, I believe in the next few years, film Indonesia dapat memenangkan kembali kepercayaan penontonnya.  

Rating: 7.5/ 10

No comments:

Post a Comment