Dec 26, 2013

The Hobbit: The Desolation of Smaug Review

"When did we allow evil to become stronger than us?"
Akhirnya salahsatu film yang paling ditunggu di tahun 2013 dirilis juga. Lanjutan petualangan paman si Frodo Baggins di LOTR, Bilbo Baggins kembali ke layar lebar. Setelah ending film pertamanya dibuat cliffhanger, yang merupakan strategi tepat karena memancing rasa penasaran penonton, Peter Jackson kembali membawa kita berpetualang ke Middle Earth yang seolah tiada habisnya dijelajahi. Materi The Hobbit yang sebenarnya jauh lebih ringan dan lebih singkat dibandingkan LOTR sendiri ini dipecah menjadi tiga semata demi memperpanjang umur Middle Earth di layar lebar sekaligus sumber uang MGM dan New Line Cinema, karena rencana awalnya novel The Hobbit hanya dibagi menjadi dua film. Namun rupanya Peter Jackson dan para petinggi lainnya merasa dua film bukanlah jumlah yang tepat untuk petualangan seepik ini, maka jadilah The Hobbit dibuat trilogi. Sebenarnya yang membuat saya percaya dengan The Hobbit ini adalah tentu saja nama Peter Jackson yang sudah berpengalaman menyutradarai film-film 'besar' yang masih memegang film ini, dan tentu saja pengaruh hipnotis trilogi LOTR yang masih saja menghantui saya.

Melanjutkan secara langsung dari film pertamanya, dimana akhirnya gerombolan 13 dwarf yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) beserta Bilbo (Martin Freeman) dan penyihir Gandalf The Grey (Ian McKellen) berhasil lolos dari kejaran Azoc sang White Orc yang penuh dendam sekaligus berhasil melalui Misty Mountain. Masih membawa misi yang sama, yakni merebut kembali kerajaan Erebor dari tangan naga Smaug (Benedict Cumberbatch), rombongan ini harus menghadapi rintangan yang lebih berat, melintasi Mirkwood penuh sekawanan laba-laba raksasa tanpa Gandalf yang harus ke Dol Guldur untuk menyelidiki lebih dalam kekuatan hitam macam apa yang menghantui Middle Earth, hingga akhirnya malah ditahan kaum Elf dengan Tauriel (Evangeline Lily) dan Legolas (Orlando Bloom) sebagai leader-nya. Karena tidak mencapai kata sepakat dengan Raja Elf, Thranduil (Lee Pace), mereka tetap ditahan hingga akhirnya diselamatkan oleh Bilbo dan bertemu dengan Bard the Bowman (Luke Evans) yang nantinya akan membantu mereka menembus penjagaan ketat Laketown dan kemudian langsung menuju Lonely Mountain untuk berhadapan langsung dengan sang naga Smaug. Namun tidak semudah itu karena Orc masih membayangi di belakang sementara kekuatan jahat di Dol Guldur semakin besar dan Bilbo serta kawan-kawan harus meutar otak untuk mengelabui Smaug demi mengambil Arkenstone yang menjadi kunci tahta kerajaan Erebor.


Jadi inilah dia, babak kedua dari petualangan Bilbo Baggins. Skala filmnya sendiri diperbesar, karakter-karakternya ditambah, bahkan Peter Jackson dengan berani menambahkan sosok Tauriel yang tidak ada di novelnya. Sebuah pilihan yang tepat mengingat Tauriel menjadi sosok menarik sepanjang film. Mungkin agak sedikit keterlaluan jika membicarakan soal visual effect, karena sudah bukan rahasia lagi bagaimana Peter Jackson meramu CGI-nya yang begitu halus, bahkan untuk naga sebesar Smaug lewat motion capture dari sang pengisi suaranya, Benedict Cumberbatch. Layaknya sihir, kita dibawa kembali bertemu makhluk-makhluk fantastis dalam dunia yang sama fantastisnya. Meskipun ada beberapa bagian yang membuat jenuh karena panjangnya durasi (161 menit) namun tentu saja Peter Jackson berhasil membuat penonton betah lewat petualangan penuh adrenalin dan tentu saja diselipi tawa. Adegan di Dol Guldur akan membuat kita menganggukkan kepala, terutama fans berat LOTR. Tauriel dan Legolas tidak henti-hentinya menarik busur dan melepas panah sejak awal kemunculannya sementara head-to-head antara Bilbo dan Smaug terlihat spektakuler sekaligus lucu dan menegangkan dan ditutup dengan ending yang tidak kalah menyebalkannya karena lagi-lagi endingnya dibuat cliffhanger dan Peter Jackson lagi-lagi berhasil menemukan momen yang tepat untuk menutup film ini.

Dengan segala hal yang disebut diatas, sudah pasti intensitas Desolation of Smaug lebih tinggi dan lebih kelam dibanding An Unexpected Journey. Kadar aksinya dibuat dua kali lipat dibanding pendahulunya. Kemunculan The Dark Lord Sauron membuat film ini lebih gelap. Aksi sang karakter tambahan Tauriel yang diperankan oleh Evangeline Lilly berhasil mencuri perhatian, sedangkan Orlando Bloom sebagai Legolas sudah pasti akan mencuri perhatian lewat aksi memanahnya. Luke Evans sebagai Bard the Bowman juga mampu mengambil alih cerita di bebrapa bagian penampilannya. Martin Freeman masih memerankan Bilbo dengan segala kekikukannya meskipun kali ini Bilbo sudah lebih berani dibanding film pertamanya. Pertemuannya dengan Smaug menjadi momen yang menggelikan sekaligus menegangkan, apalagi Smaug yang disuarakan oleh Benedict Cumberbatch berhasil memberikan karakter jahat, kejam dan greedy dalam sosok Smaug. Semua ini menjadi suatu kesatuan dibalut efek CGI yang tidak pernah berhenti membuat berdecak kagum plus musik score garapan Howard Shore yang megah. Seluruh aspek teknis melebur menjadi satu, melebur dengan perjalanan panjang para karakternya yang penuh tantangan.


So, ketika ini kedua kalinya kita dibawa bersama Bilbo dan kawanannya, bukannya merasa lelah dan bosan, tapi kita malah berharap dibawa jauh lebih dalam lagi, menjadikan Desolation of Smaug sebuah epik fantasi yang tak kalah memikatnya dengan LOTR. Aksi kejar-kejaran tanpa henti ditambah visual effect yang tak kalah amazing-nya. Middle Earth seolah nyata dengan petualangan di dalamnya yang menakjubkan. Dan ketika Smaug meneriakkan kalimat "I. Am. Death" dan Bilbo hanya sanggup berkata "What have we done?", kita hanya mampu berteriak dan tidak sabar untuk menunggu untuk dibawa berpetualang kembali di film pamungkasnya, There and Back Again.

Rating: 8.1/ 10

No comments:

Post a Comment