"In the end, the whole of life becomes an act of letting go, but what always hurts the most is not taking a moment to say goodbye"
Tantangan dalam mengadaptasi
sebuah novel bukan suatu hal yang mudah, karena film adaptasi novel memiliki ending yang sudah diketahui oleh pembaca
novelnya, sehingga tidak mungkin ending filmnya berbeda dengan novelnya. Maka
tantangannya adalah bagaimana menghidupkan karakter-karakter novel tersebut
menjadi tokoh-tokoh yang menarik di film. Hal ini juga dialami dalam proses
adaptasi film Life of Pi. Rencana pembuatan film ini sudah ada sejak sepuluh
tahun yang lalu, namun terkatung-katung karena sulitnya menerjemahkan
lembaran-lembaran novel ini menjadi sebuah film. Bahkan sudah berpindah-pindah
penyutradaraan, dari M. Night Shyamalan hingga akhirnya Ang Lee memperoleh
kepercayaan penuh untuk menyutradarai film ini. Ang Lee yang memiliki
background cemerlang sebagai seorang sutradara tentu mempercerah harapan
pembaca novelnya. Bukunya sendiri memang bukan buku adventure biasa. Kisahnya
sarat akan makna kepercayaan dan kehidupan. Dan yang unik adalah, film ini
dibuat dalam format 3D. Merupakan sesuatu yang riskan ketika memilih medium 3D
untuk sebuah film drama. Kebanyakan penonton akan berpikir seberapa layak
3D-nya dinikmati, mengingat format 3D umumnya digunakan dalam film action
maupun fantasi.