Jul 30, 2013

The Wolverine Review

"Eternity can be a curse.. a man can run out of things to live for"
Wolverine mungkin bisa dibilang mutan terkuat dalam seri X-Men milik Marvel Universe. Bagaimana tidak? Bukan hanya kekuatannya yang punya adamantium claws dan healing power yang membuatnya immortal, tapi juga daya tariknya yang seolah seperti magnet dalam menarik penonton. Satu-satunya mutan dari X-Men yang dibuatkan spin-off bahkan hingga dua film, meskipun X-Men Origins: Wolverine harus babak belur dalam urusan critical reception. Hugh Jackman masih kembali memerankan mutan yang bernama asli Logan ini. Mungkin benar bahwa Hugh Jackman is one lucky bastard. Seandainya dulu Dougray Scott tidak menolak peran Wolverine yang ditawarkan kepadanya, mungkin Hugh Jackman bukan siapa-siapa. Tapi kini Hugh Jackman hampir identik dengan sosok Wolverine, dan Dougray Scott kehilangan popularitasnya. Kembali ke The Wolverine, meskipun X-Men Origins: Wolverine bisa dibilang gagal, namun raihan box office-nya begitu menggiurkan, dan tentu saja Wolverine merupakan salahsatu mutan yang punya kemungkinan besar untuk diteruskan. So here come The Wolverine.

Dibuka dengan kejadian tepat sebelum peristiwa Nagasaki, Logan/Wolverine (HughJackman) yang merupakan tawanan Jepang menyelamatkan seorang tentara Jepang bernama Yashida (Ken Yamamura) . Berpuluh-puluh tahun berlalu, Wolverine yang merasa bersalah atas kematian Jean Grey (Famke Jansen) mengasingkan diri di Canada, hingga ia ditemukan oleh gadis Jepang bernama Yukio (Rila Fukushima) yang mengaku diutus oleh Yashida (versi tuanya diperankan oleh Haruhiko Yamanouchi) untuk membawa Wolverine ke Jepang. Sesampainya di Jepang, ia bertemu dengan anak dan cucu Yashida, Shingen (Hiroyuki Sanada) dan Mariko (Tao Okamoto). Ketika bertemu Yashida, Wolverine terkejut karena Yashida tidak hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan nyawanya, tetapi juga sebuah penawaran untuk memberikan keabadian Wolverine kepada dirinya karena ia merasa cucunya dalam bahaya. Yashida tahu Wolverine mulai lelah karena terus-terusan melihat orang yang dicintainya meninggalkan dirinya. Keadaan semakin bertambah rumit ketika Wolverine menolak dan Mariko diculik. Belum lagi sosok dokter pribadi Yashida, Dr. Green (Svetlana Khodchenkova) begitu mencurigakan. Mau tidak mau, Wolverine berusaha menyelamatkan dirinya sekaligus keabadian yang ada pada dirinya.


Diangkat dari komik Wolverine karangan Chris Claremont dan Frank Miller tahun 1982, film ini berfokus pada petualangan Wolverine di Jepang. Banyak yang menyatakan kalau filmnya setia dengan komiknya. Since I'm not the comic fan, I can't say a lot about it. Banyak juga yang menyatakan bahwa film ini lebih baik ketimbang X-Men Origins: Wolverine, I can't say a lot about it either, because I haven't watched it. Jadi, saya menilai film ini dari kacamata seorang yang buta dengan kehidupan Wolverine. Di bawah penyutradaraan James Mangold, film ini berhasil meng-capture begitu banyak culture Jepang dengan detail, terutama suasana latarnya. Yang menarik adalah cerita yang mengangkat sisi imortal Wolverine, dimana ia terlihat lelah menjadi abadi, namun ketika kekuatan itu melemah, ia seolah tidak menginginkan hal tersebut. Sisi ini menjadi sisi paling menarik dari Wolverine, kegalauannya menghadapi keabadian. Sayangnya, film ini begitu berfokus pada dramatisasi dan melupakan porsi action-nya. Sebenarnya porsi pertarungannya sudah cukup thrilling, terutama bagian di atas kereta yang melaju dalam kecepatan super tinggi. Tapi hanya itu, karena selebihnya pertarungan yang dihadirkan malah terkesan 'lewat' begitu saja. Tidak banyak 'crash, boom, bang' yang diharapkan penonton dari summer blockbuster. Bahkan pertarungan puncak antara Wolverine dan Silver Samurai seolah kurang habis-habisan.

Melalui script yang digarap oleh Christopher McQuarrie, Mark Bomback dan Scott Frank, sebenarnya cerita yang ditampilkan tidak begitu spesial. Twist yang dipasang di ending juga tidak banyak membantu, padahal dramatisasinya di sepanjang film sudah cukup baik. Masalah yang hampir selalu terjadi di film dengan multiple superheros,  beberapa karakter terlihat kurang tereksplor saking banyaknya yang perlu dikenalkan, yang akhirnya beberapa karakter malah seperti tidak penting. Karakter Wolverine masih diperankan dengan sangat baik oleh Hugh Jackman. Karakter yang dimainkannya lebih dari sepuluh tahun ini sudah sangat melekat dengan Hugh Jackman. Sayangnya pemeran karakter lain bahkan tidak bisa dibilang mampu mengimbangi Hugh Jackman, terutama Mariko yang diperankan oleh Tao Okamoto. Chemistry diantara mereka seolah dipaksakan. Rila Fukushima yang memerankan Yukio tampil lebih baik, sayangnya ia mendapat porsi sedikit. Yang tampil memorable selain Jackman mungkin hanya Svetlana Khodchenkova yang tidak hanya cantik, namun juga terlihat mematikan.


So once again, sebenarnya The Wolverine tidak tampil begitu buruk, hanya saja penonton berharap lebih daripada ini. Jika berharap film ini akan tampil dengan porsi action seperti Iron Man 3 atau bahkan Man of Steel, better forget it. Tapi jika suka tipe film ala samurai atau ronin yang tidak banyak ledakan, film ini mungkin layak disimak, karena seperti yang kita tahu ia sangat jarang bertarung dengan senjata, paling banter hanya bersenjatakan adamantium claws-nya. Lagipula Wolverine telah menjalani hidup yang sangat panjang dan penuh drama, jadi maklum sajalah kalau dramatisasinya lebih ditonjolkan. Versi 3D tidak begitu memuaskan, karena kita sama-sama tahu ini hasil konversi. Dan tentu saja, ada post-credits scene yang begitu mengejutkan. Bahkan bisa dibilang adegan di post-credits scene menjadi scene paling menarik sepanjang 127 menit film ini. So don't leave before you watch it, because it might be an important clue for Days of Future Past.

Rating: 6.8/ 10

No comments:

Post a Comment