"Mimpi itu datang lagi..."
Perfilman Indonesia bisa dibilang sedang produktif-produktifnya. Dalam setahun, ada ratusan film yang dirilis. Sayangnya tidak semuanya berkualitas. Kebanyakan film memiliki kualitas ecek-ecek kalau tidak mau dibilang jelek. Apalagi genre komedi horor yang makin lama kualitasnya makin rendah. Selain itu, genre populer film Indonesia yang sering menghiasi bioskop adalah drama, romance dan komedi. Jarang ada film Indonesia dengan genre di luar itu. Maka ketika teaser poster Belenggu dirilis dengan tulisan 'A Thriller From Upi', maka rasanya ada secercah harapan, karena film Indonesia bergenre thriller sangat sedikit yang berkualitas. Dan jika melihat dari filmography Upi, rasanya tidak adil jika men-judge film ini lebih awal tanpa menontonnya.
Di sebuah
kota anonim, penduduk kota dicekam ketakutan karena adanya kasus pembunuhan
berantai. Penyelidikan terus dilakukan namun tidak menemukan
penyelesaian. Elang (Abimana Aryasatya) adalah seorang pria yang sering
mendapat mimpi buruk mengenai seorang dengan kostum kelinci dan seorang wanita.
Elang merasa yakin kalau dua sosok tersebut berhubungan dengan kasus pembunuhan
yang terjadi. Sementara itu, Djenar (Laudya Cynthya Bella) dan anaknya Senja (Avrilla)
adalah tetangga Elang yang ketakutan akan terjadinya kasus tersebut. Elang
curiga dengan suami Djenar (Verdi Solaiman) karena sering mendengar suara
pertengkaran antara Djenar dan suaminya. Hingga suatu hari, Elang bertemu
dengan wanita bernama Jingga (Imelda Therine) yang diyakini Elang sebagai
wanita yang sering muncul dalam mimpinya. Meski sudah diperingatkan bahwa
Jingga membawa sial, Elang mendekati Jingga dengan tujuan memecahkan misteri
pembunuhan tersebut.
I won’t talk much, because if I do, I
would spoil the story a lot.
Yang jelas, sebagai sebuah film Indonesia, Belenggu bisa dibilang bukan tipe
film mainstream yang bakal bisa
dinikmati semua orang. Perlu kesabaran luar biasa untuk menghubungkan antara
kejadian satu dan lainnya. Cerita dibangun perlahan-lahan dengan sangat
hati-hati dan berhasil menimbulkan pertanyaan di mata penonton. Mulai dari
tokoh kelinci (remind me of Donnie Darko)
yang berhasil memberikan tampilan mengerikan di balik kostum badut tersebut.
Ditambah karakter-karakter tambahan yang semuanya serba misterius. Namun
sayangnya, memasuki dua pertiga film, gaya penceritaan yang dipilih Upi untuk
memberikan conclusion entah kenapa
terasa sangat biasa in my opinion.
Upi memilih memberikan jawaban melalui sudut pandang pihak ketiga. Padahal
kalau Upi menampilkan jawaban dari sudut pandang pihak pertama, mungkin rasanya
akan lebih memorable dan mind blowing. Belum lagi adanya plot hole (ditampilkan oleh petugas
arsip yang plin-plan) dan penjelasan yang menurut saya cukup bertele-tele dan
melelahkan. Tapi jangan lantas berpikir film ini jelek. Perhatikan
sinematografinya yang luar biasa. Teknik lightning
dari lampu-lampu neon itu benar-benar bagus. Juga dream sequence yang dialami Elang menurut saya memiliki tingkat
kejeniusan luar biasa unik untuk film Indonesia. Rasanya seperti bukan film Indonesia (yang akhirnya dirusak dengan tulisan 'Jakarta Taxi' dan seragam polisi Indonesia). Musik-musik pengiringnya pun bisa dikatakan bagus, menambah unsur misterius dalam film ini.
Oh
ya, Abimana Aryasatya (yang dulu dikenal dengan nama Robertino) tampil sangat
luar biasa. Intensitas aktingnya terjaga dari awal sampai akhir. Abimana yang
memang sudah tampil mencuri perhatian dalam Catatan Harian Si Boy, berhasil
meng-capture sosok Elang yang
misterius sekaligus depresif dengan sangat meyakinkan. Sayangnya, Bella sebagai supporting actress tampil tanpa bisa mengimbangi Abimana. Aktingnya
terasa flat walaupun dia sudah berusaha memberikan mimik terbaiknya. Wajah
cantiknya pun bagi saya tidak banyak menolong. Justru Imelda Therine yang
tampil cukup intens sebagai supporting
actress. Adegan interaksi antara karakter Jingga dan Elang memberikan
semacam chemistry unik yang
menakutkan, I don’t know. Yang jelas,
hubungan Elang-Jingga lebih punya ‘rasa’ dibanding Elang-Djenar. Beberapa
tambahan aktor-aktor senior seperti Bella Esperance dan Jajang C. Noer tampil baik dan sekaligus misterius, walaupun memang tidak begitu berperan banyak.
Sekali
lagi, Belenggu bukanlah popcorn movie
yang bisa dinikmati semua orang. Belenggu juga bukan sebuah film horror, in case you’re tricked by the poster. Belenggu
adalah sebuah film psychological thriller
yang menuntut otak untuk berpikir. Terlepas dari beberapa kekurangan yang ada,
Upi sangat layak mendapat acungan jempol karena berani membuat film yang out of the box. Apalagi film Indonesia
dengan genre thriller modern bisa
dihitung dengan jari. Yang jelas film ini jauh jauh jauh lebih layak tayang di
bioskop ketimbang film pocong-pocongan atau gayung atau cangkul murahan yang
bahkan bagi saya tidak layak untuk rilis direct-to-video.
Rating:
7.5/ 10
No comments:
Post a Comment