"...true courage is about knowing not when to take a life, but when to spare one"
Kesuksesan Trilogi Lord of the
Ring merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan lagi. Deretan penghargaan
sudah membuktikan bahwa dunia Middle Earth rekaan J.R.R Tolkien ini merupakan
mahakarya dari seorang Peter Jackson. Kesuksesan ini rupanya masih memancing
rasa penasaran Hollywood untuk memfilmkan The Hobbit, novel rekaan Tolkien yang
masih memiliki setting di Middle Earth sekaligus prekuel dari LOTR. Kenyataan
bahwa film ini telah lama menarik minat Peter Jackson, bahkan sebelum dirinya
memfilmkan LOTR, sayangnya tersendat masalah hak cipta dan segala macam urusan yang rumit terkait dengan pembeli hak The Hobbit untuk difilmkan, sehingga proyek The
Hobbit harus menunggu. Bahkan awalnya Peter Jackson tidak tertarik untuk
menyutradarainya dan menyerahkan kursi sutradara ke Guillermo Del Toro. Namun
berbagai macam kendala, termasuk bangkrutnya MGM membuat film ini tertunda hingga
Del Toro memilih mengundurkan diri dan membuat Peter Jackson kembali ke Middle
Earth.
Kisah ini terjadi jauh sebelum
kejadian Frodo dalam LOTR. Bilbo Baggins (Martin Freeman) diajak oleh Gandalf (Sir
Ian McKellen) untuk berpetualang. Tiba-tiba suatu malam rumahnya mendadak
dipenuhi oleh 13 dwarf yang mengaku diundang oleh Gandalf, termasuk Thorin
Oakenshield (Richard Armitage), yang dianggap sebagai pemimpin oleh kelompok
dwarf tersebut. Awalnya Bilbo menolak ketika diajak Gandalf untuk membantu
Thorin mengembalikan kerajaan Erebor yang saat ini telah dikuasai oleh seekor naga
bernama Smaug karena Bilbo sudah merasa nyaman dengan kehidupannya saat ini.
Namun akhirnya mereka berhasil membujuk
Bilbo untuk ikut serta. Maka dimulailah petualangan terbesar dalam hidup Bilbo.
Dalam perjalanannya inilah, Bilbo bertemu dengan berbagai macam makhluk mulai
dari Troll, Orc, Goblin hingga Gollum (Andy Serkis), yang mengantarnya pada
cincin milik Sauron, yang sama-sama kita ketahui bahwa cincin ini memiliki
peranan penting dalam Lord of the Ring.
Fans LOTR tentu kegirangan
menyambut film ini, termasuk saya. Rasanya sulit untuk tidak membandingkan film
yang memiliki subjudul An Unexpected Journey ini dengan kesuksesan trilogi
LOTR. Kisah Bilbo cenderung lebih ringan dan ceria dibanding dengan kisah Frodo
yang kelam. Kisah dengan durasi cukup
panjang ini bagi saya pribadi sebenarnya tidak perlu dipecah menjadi trilogi,
karena bagi saya kisah ini bisa dipadatkan menjadi dua film seperti rencana
semula. Akibat dari pemecahan inilah yang membuat kisah The Hobbit terasa
seperti draggy, apalagi dasar cerita
ini hanyalah petualangan demi harta karun. Beruntung hadirnya cameo-cameo dari
LOTR seperti Elijah Wood, Ian Holm, Cate Blanchett, dan Christopher Lee yang
kembali memerankan Frodo, Bilbo tua, Lady Galadriel dan Saruman sedikit bisa
menghibur saya. Selera humor para dwarf memang tidak terbantahkan, tapi pasti
akan melelahkan bagi non fans LOTR ketika menyaksikan film ini. Ketika memasuki
paruh film, barulah film ini terasa menarik, terutama ketika Radaghast
menceritakan tentang necromancer yang
menandai bangkitnya kegelapan, hingga dendam White Orc terhadap Thorin. Namun
bagi saya puncaknya adalah ketika rombongan ini berada di Kerajaan Goblin.
Adegan kejar-kejaran dengan kereta mengingatkan saya dengan kejadian di tambang
Moria dalam The Fellowship of the Ring. But
the real show is when Bilbo finally met Gollum. Bukan rahasia bahwa inilah
ujung pangkal penderitaan Frodo menanggung beban atas kejadian ini. Walaupun
bukan menu utama ataupun adegan inti film ini, tapi ini adalah hiburan terbesar
saya.
Martin Freeman yang merupakan
sosok kunci film ini berhasil memerankan Bilbo dengan sangat baik. Dalam beberapa adegan, ia tetap mampu mempertahankan
karakternya yang awkwardly good
sehingga menjadi sebuah karakter yang tetap menonjol di tengah ramainya
rombongan tersebut. Sedangkan Sir Ian McKellen sudah tidak perlu diragukan lagi
aktingnya karena ia mampu menghadirkan kembali sosok Gandalf dengan sempurna. Perbedaan penampilan yang dilakukan team make
up terhadap masing-masing karakter dwarf sayangnya tetap membuat penonton sulit
membedakan sebagian besar karakter, kecuali Thorin yang notabene-nya adalah
pemimpin kelompok dwarf yang diperankan oleh Richard Armitage yang bahkan rela
menumbuhkan jenggot demi peran Thorin dengan baik. Di luar Thorin, hanya beberapa karakter yang
mampu menonjol, seperti Fili dan Kili. Bahkan mungkin hanya sebagian kecil penggemar
Lord of The Ring yang menyadari kehadiran ayah Gimli di dalam rombongan
tersebut, Gloin. Sedangkan secara visual, rasanya tidak pantas meragukan
kemampuan seorang Peter Jackson yang sudah menghasilkan trilogi LOTR yang
berhasil memboyong penghargaan di berbagai ajang hampir 10 tahun lalu. Bahkan
Gollum tidak pernah tampil sebaik ini sebelumnya. Dengan dukungan teknologi 3D, tentunya
adegan-adegan yang kental dengan petualangan semakin membawa penonton larut dalam petualangan. Begitu pula dengan
hadirnya teknologi 48 fps (frame per second) yang dibawa oleh Peter Jackson semakin menambah kejenihan gambar,
yang sayangnya kurang direspon baik oleh sebagian besar penonton (penonton
menganggap gambarnya terlalu jernih).
Terlepas dari semua
kekurangannya, tentunya The Hobbit tetap menjadi sebuah tontonan yang sangat layak
dinikmati, terutama untuk penggemar yang rindu dengan kemegahan Middle Earth. Apalagi Peter Jackson memberikan pengalaman visual yang luar biasa. Memang bukan hal yang tepat membandingkan petualangan Bilbo dan Frodo, namun apadaya, ini adalah prekuel LOTR, sulit rasanya untuk tidak membandingkan. Overall,
film ini tetap menghibur dengan kehadiran Bilbo Baggins, walaupun jika
dibandingkan dengan LOTR, tentunya film ini masih berada di bawah trilogi epik
tersebut. Masih ada part kedua dengan subjudul Desolation of Smaug, so I think it’s too early to judge this entire
trilogy.
Rating: 7.5/ 10
No comments:
Post a Comment