Nov 28, 2013

Ender's Game Review

"In the moment when I truly understand my enemy, understand him well enough to defeat him, then in that very moment I also love him"
Butuh waktu hampir 30 tahun bagi Hollywood untuk mengangkat novel ini ke dalam media film. Ya, Ender's Game diangkat dari novel berjudul sama karangan Orson Scott Card yang dirilis tahun 1985 ini akhirnya berhasil difilmkan setelah banyaknya rencana memfilmkan film ini namun gagal karena beberapa alasan. Filmnya sendiri tidak banyak punya promosi di Indonesia, bahkan kalah populer dibandingkan Thor. Tapi ada alasan tertentu mengapa film ini jadi salahsatu film yang ditunggu. Novelnya sendiri di Amerika Utara banyak memenangkan penghargaan serta menjadi salahsatu bacaan yang direkomendasikan di sekolah militer. Dibintangi Asa Butterfield, Harrison Ford, Viola Davis, Hailee Steinfeld, Abigail Breslin hingga Ben Kingsley, siapa yang bisa menolak sederetan cast yang begitu menggiurkan?

Ender's Game bersetting jauh di masa depan, dimana Bumi telah diserang bangsa Formic dan berkat Mazer Rackham, Bumi bisa terus bertahan. Bertahun-tahun sesudahnya, Andrew "Ender" Wiggin (Asa Butterfield) adalah seorang siswa yang sering mendapat perilaku bullying baik di sekolah maupun di rumah. Satu kejadian yang secara kebetulan disaksikan oleh Colonel Hyrum Graff (Harrison Ford) dan Major Gwen Anderson (Viola Davis) membuat Ender ditawari untuk masuk ke Battle School, dimana anak-anak dengan bakat khusus dipersiapkan untuk menghadapi serangan bangsa Formic yang kemungkinan besar akan terjadi lagi. Dengan dukungan dari kakaknya, Valentine (Abigail Breslin), Ender bersedia pergi. Disana ia mendapat banyak pelajaran, terutama bersama Petra Arkania (Hailee Steinfeld). Dasarnya memang memiliki bakat, Ender dipromosikan ke International Fleet dimana ia semakin memiliki kesempatan besar untuk memimpin seluruh serangan melawan bangsa Formic. Namun masalah psikologis Ender yang sering menerima bullying dan tekanan membuat semua ini mudah, apalagi ketika simulasi demi simulasi semakin rumit dan Ender dituntut untuk menyelesaikannya.


Film garapan Gavin Hood ini sebenarnya bisa tampil maksimal, jika saja detilnya lebih diperhatikan. Sayangnya, banyak sekali kejanggalan yang hadir di film ini dan harus membuat penonton non readers harus mengerutkan kening ketika menyaksikan film ini. Gavin Hood yang juga menjadi penulis naskah film ini mungkin kebingungan memilah mana yang layak difilmkan dan mana yang tidak. Tapi entah saya yang terlalu cetek otaknya atau memang film ini kurang detil, yang jelas di beberapa adegan saya harus mengerutkan kening karena kurangnya penjelasan. Beruntung, film ini setidaknya punya special effect yang menakjubkan dan scoring yang tepat, sehingga mampu menyelamatkan penonton dari kantuk. Layaknya film science fiction, film ini punya jualan efek yang memang bagus, sehingga kita tahu kemana budget film ini habis, terutama dalam mind games yang dimainkan Ender maupun adegan simulasi perang yang menakjubkan. Musik dari Steve Jablonsky seolah melengkapi special effect yang dihadirkan dan berhasil membuat mata penonton terbelalak di beberapa adegan.

Endingnya sendiri begitu menggetarkan, dan bagi penonton non readers, endingnya merupakan sebuah twist ending yang mampu membuat kita mempertanyakan soal moral dan humanity. Mungkin sepanjang film, hanya simulasi-simulasi yang membawa Ender menuju pendewasaan diri dan adegan endingnya yang menjadi penyelamat film ini. Penyelamat lain hadir dari akting bintang muda bermasa depan cerah, Asa Butterfield yang begitu menjiwai perannya sebagai Ender. Ia mampu mengekspresikan kegalauan batin sekaligus keberanian dan kecerdasan Ender dengan nyaris sempurna. Sayangnya selain akting Asa Butterfield, aktor lainnya tidak banyak membantu, meskipun sebagian besar casting-nya adalah nperaih nominasi Oscar. Meskipun mereka tidak sepenuhnya bermain buruk, namun sebenarnya mereka semua bisa berakting jauh lebih baik dari itu. Baik itu Harrison Ford, Viola Davis, Hailee Steinfeld dan Ben Kingsley terkesan kurang maksimal. Dari mereka semua, mungkin ating Ben Kingsley yang paling baik meskipun kemunculannya sedikit. Malah mungkin akting Moises Arias sebagai Bonzo bisa dibilang lebih baik dari aktor-aktor kaliber Oscar tersebut.


Ender's Game sayangnya harus berakhir sebagai sebuah film adaptasi novel yang so-so. Padahal jika ditilik dari novelnya yang kata sang penulis "unfilmable" ini punya materi yang menarik, terutama pendewasaan diri dari karakter utamanya. Tanpa special effect yang keren, twist ending dan akting Asa Butterfield, film ini kemungkinan besar akan berakhir lebih buruk. Lantas bagaimana dengan novel sekuelnya, Speaker of the Dead? Apakah akan difilmkan juga? Apalagi endingnya juga dibuat menggantung, seolah akan ada lanjutannya. We'll see, karena Hollywood punya kecenderungan untuk melanjutkan film apapun itu selama masih memungkinkan untuk memperoleh keuntungan yang lebih berlipat.

Rating: 7.3 /10

No comments:

Post a Comment