Dec 31, 2016

Passengers Review

 
"You can't get so hung up on where you'd rather be, that you forget to make the most of where you are"
Jennifer Lawrence. Chris Pratt. Dalam satu film. Bersetting di luar angkasa. Mendengar empat kalimat tersebut rasanya mustahil untuk tidak excited dengan film terbaru karya Morten Tydlum ini. Tanpa perlu tahu banyak plotnya saja sudah terdengar menarik, apalagi kedua nama yang baru pertama kali dipasangkan dalam satu layar ini sedang naik daun di dunia perfilman Hollywood. Promosinya sendiri cukup menarik, bahkan digadang sebagai “Titanic in outer space”. Memang film bertema luar angkasa sedang naik daun beberapa tahun terakhir. Maka, tentu saja, jadilah Passengers menjadi salahsatu film yang ditunggu di penghujung tahun 2016 ini.

Formula kisahnya sendiri cukup menarik. Dikisahkan sebuah kapal luar angkasa Avalon, sedang berada dalam perjalanan dari Bumi menuju Homestead II yang butuh waktu 120 tahun untuk sampai. Seluruh awak dan penumpang berada dalam mode hibernasi sampai suatu ketika Jim Preston (Chris Pratt) tiba-tiba terbangun saat 30 tahun perjalanan. Artinya ia terbangun lebih cepat 90 tahun ketimbang penumpang lainnya. Hidup sendiri sebagai satu-satunya makhluk hidup yang terjaga hanya ditemani seorang android bernama Arthur (Michael Sheen), Jim mulai menghadapi tekanan jiwa. Hingga suatu ketika, Jim melihat Aurora Lane (Jennifer Lawrence) dalam kapsul tidurnya dan langsung tertarik akan sosok wanita tersebut. Jim dihadapkan dengan dua pilihan, membiarkan Aurora berhibernasi dan dirinya tetap seorang diri, atau tetap membangunkan Aurora dengan resiko Aurora harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam Avalon. Belum lagi ia harus mengetahui kalau insiden dirinya terbangun dari kapsul hibernasi adalah imbas dari kapal yang perlahan mengalami malfungsi dan beresiko membahayakan seluruh penumpang Avalon.



Punya A-List actors dan storyline yang menarik, harusnya bisa membuat Passengers jadi satu tontonan yang mungkin akan sulit dilupakan setidaknya sampai 20 tahun ke depan. Sayangnya, hal ini tidak terjadi. Passengers sama hampanya dengan atmosfer luar angkasa yang kosong di satu jam pertama. Kegundahan Jim tidak tersampaikan dengan baik, kesendiriannya tidak bisa kita rasakan, keputusannya tidak membuat kita simpati atau bahkan benci. Semuanya terasa serba hambar. Mungkin tersangka pertamanya adalah skrip garapan John Spaiths. Penceritaannya memang jelas, atau bahkan mungkin terlalu jelas tanpa bertele-tele sehingga rasanya kurang mengikat emosi penonton. Padahal, sekali lagi, pondasi kisahnya punya potensi untuk menjadi luar biasa kompleks. Mungkin hal ini bisa ditanggulangi seandainya, ketimbang menggunakan sudut pandang Jim, penceritaan lebih difokuskan dari mata Aurora, yang jelas akan jadi satu twist serta pergolakan emosi yang menarik untuk didalami. 

Hal kedua bisa ditengarai dari penyutradaraan Morten Tydlum, karena di satu jam pertama jelas terasa terburu-buru. Di tengah sedikitnya waktu, jelas terasa terlalu cepat bagi karakter Jim dan Aurora untuk mendalami perasaan masing-masing. Alasan Jim jatuh cinta dengan Aurora bisa dimaklumi, tapi bagi Aurora? Rasanya terlalu cepat bagi Aurora untuk jatuh cinta pada Jim tanpa punya momen spesial. Hanya karna mereka berdua satu-satunya pria dan wanita single di luar angkasa, bukan berarti Aurora bisa langsung jatuh cinta dengan Jim tanpa alasan yang jelas. Hal ini malah menjadikan bumbu romance-nya serasa tempelan tak perlu yang rasanya bisa dibuang begitu saja, karna paruh kedua kita sudah lupa kalau Jim dan Aurora pernah madly in love.


Hal terakhir adalah departemen akting yang bisa dibilang adalah senjata utama film ini. Tak perlu meragukan kualitas akting Jennifer Lawrence yang tampil prima sepanjang film. Ia mampu mengekspresikan emosi dari Aurora secara maksimal lewat aktingnya yang mengesankan. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya ke dalam karakter Aurora. Di lain pihak, Chris Pratt sayang sekali tidak mampu mengimbangi akting Jennifer Lawrence. Aktingnya sebagai Jim Preston tak pernah benar-benar mampu menggambarkan kesendirian Jim di luar angkasa, tak pernah benar-benar menunjukkan cinta yang besar pada Aurora, tak pernah benar-benar menunjukkan kepanikan yang luar biasa dalam kebingungannya di luar angkasa. Hal ini berimbas pada chemistry mereka tanpa rasa sebagai dua orang yang jatuh cinta, dan tentu saja keseluruhan film yang tanpa rasa.

Kalau ada satu hal yang menjadi obat, setidaknya di satu jam terakhir kita dibawa berpacu jantung lewat usaha mereka menyelamatkan Avalon. Actionnya bisa dibilang menebus separuh pertama yang tidak pernah benar-benar membuat terkesan. Efek CGI yang diberikan juga lumayan memanjakan mata, meskipun sesungguhnya ini bukan hal baru, karna kita pernah menikmatinya tiga tahun lalu lewat film Gravity. Sayang sekali, Passengers yang sesungguhnya punya potensi besar malah tereksekusi dengan buruk. Sejatinya Passengers bukan film yang buruk, namun ekspektasi atas dua nama besar sudah membumbung tinggi, membuat Passengers berubah menjadi film yang mengecewakan di penghujung tahun ini.

Rating: 6.5/ 10
The Verdict: It was all fine, if we're not expecting something big from this sci-fi romance. Passengers is definitely not a Titanic in outer space, because in a whole package, this one is emotionless. The things that can save Passengers from its sink is only Jennifer Lawrence, which is flawless as always, and the CGI during the last 30 minutes. 

No comments:

Post a Comment