Feb 4, 2017

Hacksaw Ridge Review

"I don't know how I'm going to live with myself if I don't stay true to what I believe"
Seberapa jauh kita mampu memegang teguh prinsip yang didasarkan atas keimanan? Hacksaw Ridge secara dramatis menggambarkan sekelumit perjuangan tersebut. Film yang sekaligus merupakan ajang comeback bagi Mel Gibson setelah film terakhir yang disutradarainya adalah Apocalypto di tahun 2006, bahkan mendapat 10 menit standing ovation saat pertama tayang di Venice Film Festival. Sosok Mel Gibson memang penuh kontroversi, apalagi semenjak dirinya tertangkap mabuk sambil mengendarai mobil dan kemudian memaki-maki kaum Yahudi. Tapi sepertinya perilaku buruk Mel Gibson sudah dilupakan publik lewat pembuktiannya dalam menyutradarai Hacksaw Ridge. Terbukti film ini banyak memperoleh nominasi di ajang perfilman bergengsi dan masuk dalam daftar film terbaik tahun 2016 di berbagai versi. Film ini bahkan juga mendapat 6 nominasi Oscar, tiga diantaranya adalah Best Picture, Best Actor untuk Andrew Garfield, Best Director untuk Mel Gibson. Curhat sedikit, film ini sejatinya sudah dirilis sejak November 2016, tapi saya skip di bioskop karna saya pribadi bukan menggemar film perang. Perang fiksi masih bisa saya maklumi (macam Lord of The Rings atau Star Wars), tapi yang mendekati realita begini saya tak pernah bisa menyaksikan dengan nyaman. Tapi melewatkan film ini rasanya tidak mungkin karna publik banyak yang memfavoritkan film ini.

Diangkat dari kisah nyata yang sudah ingin difilmkan sejak tahun 50-an namun ditolak karna tak mau kisahnya berubah jadi klise di tangan Hollywood, film ini bercerita tentang seorang pemuda bernama Desmond Doss (Andrew Garfield), seorang penganut Kristen yang taat. Masa lalunya kelam akibat didikan keras sang ayah, Tom Doss (Hugo Weaving) yang merupakan veteran Perang Dunia I. Namun dari sini pulalah ia meyakini betul The Sixth Commandment dari Old Testament, bahwa mengambil nyawa orang lain adalah dosa terbesar di mata Tuhan. Prinsip ini tetap dianut Desmond hingga dewasa, bahkan hingga ia mendaftarkan diri dan bergabung dalam US Army untuk Perang Dunia II, ia sama sekali menolak menyentuh senjata, apalagi membunuh orang. Enggan mengikuti pelatihan senjata membuat Desmond tidak hanya dikucilkan oleh teman-teman di kesatuannya, bahkan komandannya Sergeant Howell (Vince Vaughn) tak percaya dengan prinsip Desmond, karna meskipun ia nantinya bertugas dalam satuan medis, ia harus tahu caranya memegang senjata sebagai bentuk pertahanan diri.


Membayangkan saja sudah terdengar gila, bagaimana mungkin seseorang yang waras berani terjun ke medan perang tanpa senjata bahkan hanya untuk sekedar perlindungan? Meskipun begitu, Hacksaw Ridge memberi kita alasan kuat mengapa Desmond Doss bisa senekad itu. Lewat naskah garapan Robert Schenkkan dan Andrew Knight, paruh pertama kita diberi background kisah soal kehidupan Desmond sebelum perang, mulai dari ibunya yang relijius menanamkan nilai-nilai agama pada Desmond kecil, perseteruan dengan ayahnya yang pemabuk hingga akhirnya ketika ia jatuh cinta pada Dorothy (Teresa Palmer). Semua hal ini mendasari prinsip kuat Desmond yang dilatari nilai-nilai keagamaan. Aliran kisahnya nyaman diikuti, terutama ketika konflik utama dimulai di kamp militer. Kerasnya kehidupan kamp dimana ia harus diremehkan oleh teman-teman satuannya (atau bahkan secara sengaja komandannya berniat menyingkirkannya karna "prinsip gilanya") hingga ia harus ikut sidang militer karna tekadnya yang tak mau sama sekali memegang senjata, bisa membuat kita semua setuju dengan keputusan Desmond untuk memegang teguh prinsipnya.

Kalau di paruh pertama kita diajak menyelami awal mula kehidupan sang tokoh utama kita, paruh kedua adalah horor sesungguhnya. Semenjak Desmond dan kawan-kawannya menyaksikan tentara yang baru kembali dari medan perang, kita sudah bisa merasakan kalau perang ini bukan ide bagus untuk pahlawan kita. Dan benar saja, mungkin ini salahsatu film yang secara realistis mampu menggambarkan betapa mengerikannya perang itu dengan sangat baik. Atmosfer menyeramkan terasa sangat kental, ditambah dentuman granat dan desingan peluru, belum lagi mayat-mayat korban perang tersungkur lengkap dengan darah yang mengalir akibat tembusan peluru atau isi perut yang terburai akibat hujaman tombak, semuanya tergambar dengan sangat realistis, yang mempu membuat penonton bermental lemah macam saya tutup mata. Momen-momen menegangkan tak pernah sedikitpun berkurang, bahkan dalam kondisi setenang apapun, misalnya dalam mimpi buruk Desmond di medan perang, atau ketika ia berusaha menyelamatkan kawannya di tengah tentara Jepang yang sedang memeriksa keadaan. Disinilah perjuangan tokoh utama kita benar-benar diuji, namun Desmond tidak sedikitpun gentar karna ia membawa kepercayaan akan prinsipnya lewat lewat nilai-nilai keagamaan yang ia pegang sejak awal ke dalam medan perang, kita akan tahu betapa menakjubkan sosok Desmond Doss ini. Ya, keunggulan film ini ada di paruh keduanya, lewat dukungan teknis yang luar biasa dalam penggambaran medan perangnya.



Berbicara soal sosok Desmond Doss, tentu rasanya mustahil melepas nama Andrew Garfield. Mantan pemeran Spider-Man ini mampu secara konsisten memerankan Desmond Doss, membuat kita percaya akan sosok Doss yang kurus dan ringkih namun berprinsip kuat dan percaya akan Tuhan tanpa sedikitpun semangatnya kendor hingga akhir. Mungkin inilah salahsatu penampilan terbaik Garfield (yang mungkin nantinya bisa dibandingkan dengan penampilannya di Silence). Bahkan kabarnya pada saat screening, anak dari Desmond Doss yang hadir sampai menangis menyaksikan akting Garfield yang begitu akurat memerankan ayahnya. Hugo Weaving tak banyak dapat jatah screen time karna memang posisi perannya hanyalah supporting, tapi kehadiran tetap krusial sebagai dasar dan ia memberi penampilan yang baik sebagai sang ayah yang pemabuk dan keras sebagai efek samping dari perang yang membuatnya kehilangan banyak rekan yang selalu diratapinya. Yang membuat saya pribadi cukup tercengang adalah Vince Vaughn. Tanpa dinyana ia mampu menjelma menjadi Sergeant Howell yang keras lewat teriakan-teriakannya, mungkin karna saya terlalu terbiasa melihat sosoknya di film komedi jadi ini terasa mengejutkan.

Harus diakui meskipun kontroversi, Mel Gibson jelas sosok yang masih tajam duduk di kursi sutradara. Lewat Hacksaw Ridge, ia mampu mengusung kisah yang kental akan nuansa relijius berdampingan dengan kebrutalan perang secara seimbang. Dukungan teknis atas penggambaran medan perang yang begitu detail plus akting dari para pemainnya, terutama Andrew Garfield, rasanya tidak berlebihan jika banyak yang menganggap film ini adalah salahsatu film perang terbaik, meskipun temanya secara implisit meneriakkan anti perang.

Rating: 8,3/ 10
The Verdict: A hell-ish presentation of a battlefield, Mel Gibson made an ultimate comeback by directing this based-on-true-events  film and marked Andrew Garfield as a fine actor 

No comments:

Post a Comment