Feb 15, 2017

Hidden Figures Review



"Separate and equal are two different things. Just çause it's the way, doesn't make it right, understand?"
Diskriminasi terhadap kaum minoritas, terutama kaum kulit hitam, memang punya sejarah panjang di Amerika. Mulai dari perbudakan yang sudah dimulai sejak sebelum Perang Sipil, keberadaan mereka memang tidak pernah benar-benar setara dengan warga kulit putih. Hal ini pulalah yang tersirat dalam film yang ditajuk Hidden Figures ini. Diadaptasi dari buku berjudul sama karangan  Margot Lee Shetterly, film yang diangkat dari kisah nyata ini menceritakan soal “sosok tersembunyi” di balik kesuksesan NASA dalam misi-misi awal ke luar angkasa. Mengangkat isu rasial yang kala itu tengah mengemuka, Hidden Figures tidak hanya sukses merajai tangga box office domestik, tapi juga memperoleh tiga nominasi Oscar, yakni Best Pictures, Best Supporting Actress untuk Octavia Spencer dan Best Adapted Screenplay.

Sosok tersembunyi kita adalah tiga wanita keturunan Afro Amerika yang punya otak cerdas dan bekerja di NASA pada tahun 60-an. Ada Katherine Goble (Taraji P. Henson), seorang ahli matematika geometri yang begitu pandai dalam kalkulasi. Kemudian ada Dorothy Vaughan (Octavia Spencer), seorang ahli komputer yang meng-cover tugas supervisor di divisi komputer West Area, tapi tak pernah benar-benar menyandang status resmi supervisor. Terakhir ada Mary Jackson (Janelle Monae) yang punya potensi besar untuk menjadi seorang engineer hebat. Ketiganya punya potensi pada bidangnya masing-masing di NASA dan membantu Amerika dalam misinya mengirimkan manusia ke luar angkasa, apalagi kala itu era pera perang dingin dimana Amerika dan Rusia berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Namun terlahir sebagai kulit hitam terlebih lagi dengan gender perempuan membuat ketiganya tidak pernah sepenuhnya memaksimalkan potensi akibat dari rasisme dan diskriminasi yang pada saat itu tengah memanas.


Tampil dengan tema serius dan berlatar science, nyatanya tidak membuat film ini cenderung mengambil tone serius. Theodore Melfi selaku sutradara malah mengajak kita bersenang-senang dengan ketiga karakternya, tanpa sedikitpun melupakan betapa seriusnya masalah yang mereka hadapi kala itu. Narasinya mengalir santai sambil sesekali mengajak penonton tersenyum lewat dialog-dialog karakternya. Contoh sederhana misalnya pada adegan mobil mereka bertiga mogok dan seorang opsir menghampiri mereka. Seperti kata Dorothy  "mobil mogok bukan tindak kriminal" yang langsung disambut dengan celetukan Mary "begitu juga dengan menjadi seorang negro" dengan sinis. Adegan sederhana yang ini terasa ringan tapi sudah cukup mengimplikasikan kalau berdiri diam bisa jadi masalah kalau mereka berkulit hitam kala itu. Tidak dipercaya, dikesampingkan, bahkan dihina sudah bukan hal baru, mereka sudah terbiasa dengan hal seperti ini, namun tentu saja mereka tak pernah sepenuhnya menyerah untuk memperoleh persamaan hak dengan warga negara lain.

Hidden Figures secara gamblang memperlihatkan bagaimana colored people diperlakukan kala itu. Mulai dari seksi khusus di perpustakaan, tempat duduk di dalam bis, toilet, hingga coffee pot pun tidak boleh digabung dengan white people, menunjukkan diskriminasi kala itu benar-benar mendiskreditkan kaum kulit hitam sebagai warga negara. Pada akhirnya film ini tidak pernah sedikitpun menunjukkan siapa yang lebih baik dari siapa, namun memfokuskan pada kesetaraan hak bagi semua ras dan golongan demi tercapainya satu tujuan. Harus diakui, dukungan skenario berperan penting disini. Lewat skenario yang ditulis Mefi bersama Allison Schroeder berdialog secara sederhana, tidak didramatisasi berlebihan, bahkan tidak sedikit celetukan-celetukan yang mengundang tawa, namun tetap saja film ini mampu menunaikan tugasnya, lantang meneriakkan kondisi sosial kala itu. Ditambah dukungan desain produksi yang mendetail, membuat film ini jadi sangat meyakinkan dalam penuturan kisahnya.


Sebagai pelengkap dari kisah biografi yang inspiratif ini, dipasang pula tiga aktris yang punya pengaruh besar dalam cerita, dan harus diakui, ketiganya bermain dengan sangat baik. Taraji P. Henson tampil memukau sebagai Katharine Johnson, emosinya pun tersalur baik lewat pernyataan yang terlontar pasca atasannya bertanya soal dirinya yang selalu menghilang selama 40 menit hanya untuk ke toilet. Pun begitu dengan Octavia Spencer yang lebih tenang namun aura dan semangatnya terpancar lewat karakter Dorothy Vaughan. Sementara penyanyi yang akhir-akhir ini naik daun sebagai aktris, Janelle Monae, secara mengejutkan tampil meyakinkan lewat perannya sebagai Mary Jackson yang memperjuangkan cita-cita sebagai wanita kulit hitam pertama yang bertitel engineer. Chemistry ketiganya pun terasa natural sebagai tiga sosok tersembunyi NASA. Sebagai penyeimbang, ada Kevin Costner, Jim Parsons dan Kirsten Dunst yang memerankan karakter pendukung cerita yang tampil dengan sangat baik, terutama Jim Parsons dengan aktingnya sebagai Paul Stafford, sosok superior di Space Task Force yang menyebalkan.

Lewat dukungan kisah yang kuat dan akting yang menawan, Hidden Figures tidak diragukan lagi patut diposisikan sebagai salahsatu film terbaik yang dirilis tahun lalu. Apalagi akhir-akhir ini, di bawah pemerintahan baru, isu kaum minoritas kembali mengemuka di Amerika Serikat, menjadikan film ini terasa lebih relevan dengan kondisi saat ini bagi warga AS. Kemasan Hidden Figures memang lebih ringan dan menghibur, namun pesan yang dibawa terpancar kuat, membuat film ini tak kalah lantang menyuarakan diskriminasi.

Rating: 8/ 10
The Verdict: Without any doubts, Hidden Figures speaks loud about crucial issue through a compact performance from Henson, Spencer and Monae  in a fun and heartwarming way

No comments:

Post a Comment