Jan 3, 2016

Creed Review

 
"Time takes everybody out. Time is undefeated"
Sebelum memulai, ada satu yang perlu ditekankan, I'm not a Rocky fan. Alih-alih fan, nonton filmnya barang sekalipun juga belum pernah. And I'm not a Sly fan. Sylvester Stallone mungkin aktor bagus pada masanya, but clearly not my favorite one. Jadi setelah enam film, dan hanya film pertamanya yang menang Oscar kategori Best Picture, kenapa masih diteruskan kelanjutannya? Seolah kisah Rocky tidak pernah berhenti sampai karakter itu sendiri mati.  Ya, mungkin Rocky jadi salahsatu America's favorite hero, itulah sebabnya, dan film pertamanya merupakan film yang sarat akan harapan. Lihat saja, patung Rocky bahkan dipajang di sekitar Museum Philadelphia. Lantas kenapa saya yang bukan fans lalu nekad nonton Creed? Well, faktanya film spin off dari Rocky ini dapat sambutan kritik yang tidak bisa diremehkan, bahkan nama Stallone masuk dalam nominasi Golden Globe kategori Best Supporting Actor. Dan, film ini sudah tidak lagi fokus pada sang legenda Rocky Balboa, tapi lebih ke sang karakter baru, Adonis Creed.

Adonis Johnson, atau nantinya seiring cerita bergulir akan dikenal dengan nama Adonis Creed (Michael B. Jordan) mulanya tidak tahu menahu soal orangtuanya. Ibunya sudah meninggal sementara ia tidak pernah mengenal ayahnya. Tumbuh menjadi bad boy yang doyan keluar masuk juvie, mendadak ia dikejutkan oleh kedatangan seorang wanita yang menceritakan soal ayahnya, petinju ternama Apollo Creed. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, Donnie lebih berminat menjadi fighter seperti ayahnya, meskipun ia menolak menggunakan nama Creed karna khawatir mengenai pandangan orang soal dirinya. Ia tahu ia butuh pelatih jika ingin terjun ke dunia tinju secara profesional, maka ia mendatangi Rocky Balboa (Sylvester Stallone), yang pernah melawan ayahnya di ring namun akhirnya menjadi sahabat ayahnya. Awalnya Rocky menolak, namun akhirnya ia bersedia menjadi mentor bagi Donnie demi bertarung di arena, hingga akhirnya Donny menerima tantangan dari seorang petinju asal Liverpool bernama Ricky Conlan (Andrew Bellew), seorang petinju pro yang sejatinya menantang Donnie karna warisan nama Creed semata.


Dari kacamata saya yang memang buta soal Rocky, film ini sebenarnya punya plot yang klise. From zero to hero, enggan berada di bawah nama besar sang orang tua, ini bukan lagi hal baru dalam sebuah film. Namun ketika hal ini dieksekusi dengan tepat, maka plot tersebut bisa berubah jadi menarik. Inilah yang terjadi pada Creed. Kelihatan bahwa film ini tidak berusaha melepas nama Rocky begitu saja (dan terbukti dari beberapa artikel yang saya baca, film ini punya banyak tribute ke film originalnya). Karakterisasi Donnie yang merupakan pemuda krisis identitas terasa begitu dalam seiring konflik yang ada (yang sebenarnya konflik klise), malah membuat plotnya terasa emosional. Pun begitu dengan karakter Rocky sang legenda yang terlihat begitu rapuh di masa tuanya, ketika ia menerima kenyataan soal kesehatannya, atau bahkan saat Donnie terlibat masalah karna tidak ingin dibayangin nama Creed, dua karakter yang saling bertolak belakang ini malah menjadi duet ampuh sepanjang film. Ryan Coogler, selaku sutradara sekaligus penulis naskah, did it right.

Porsi pertarungan di dalam ring pun sama intense-nya dengan porsi dramanya. Yang paling intense mungkin pertandingan pertama Donny melawan Leo Sporino. Bayangkan saja, kita disuguhi satu pertandingan tanpa putus dalam adegan long take dalam arena! Mungkin ini jadi scene paling favorit saya. Penonton diajak berfokus pada ekspresi dua tokoh yang sedang berduel dalam arena, dan sekali lagi ini bekerja dengan baik, karna pertandingannya terasa lebih personal sekaligus emosional. Segala tekanan dalam arena mapu dirasakan penonton. Michael B. Jordan memberikan performa yang bagus sebagai Donnie di tengah krisis identitasnya mengenai nama besar ayahnya didukung body shape seorang fighter. Kegalauannya menjelang pertandingan hingga pecah menjadi sebuah kemarahan ataupun air mata mampu ia presentasikan dengan baik. Sementara Stallone juga memberikan penampilan yang sama kuatnya sebagai Rocky yang rapuh di masa tuanya. Hubungan keduanya terlihat kuat baik sebagai mentor dan muridnya, sebagai dua sahabat, sebagai sesama fighter atau bahkan sebagai ayah dan anak.


Lantas apakah perlu menyaksikan semua film Rocky supaya bisa memahami alur cerita Creed? Jawabannya tidak. Rasanya penonton bisa menikmati kisahnya tanpa perlu tahu betul kisah Rocky, meskipun yang sudah menyaksikan Rocky akan merasa terkoneksi ketika menyaksikan film ini. Remember, your legacy is more than just a name. Dan ya, Creed jadi salah satu film drama (yang secara mengejutkan) bagus (setelah sekuel-sekuel Rocky sebelumnya) dengan cerita yang begitu ringan yang dirilis di penghujung tahun 2015 lalu.

Rating: 8/ 10

No comments:

Post a Comment