Feb 16, 2016

A Copy of My Mind Review

"Oh kalo mau nyari yang bagus ya nyari yang asli lah, bajakan masa lu protes?"
Rasanya sudah lama sekali semenjak terkahir kali saya nonton film Indonesia di bioskop, tapi film ini rasanya adalah sebuah pengecualian. Sebelum tayang di bioskop secara luas februari tahun ini, A Copy of My Mind yang sejatinya adalah film rilisan tahun 2015, sudah mondar-mandir di berbagai festival internasional semacam Toronto International Film Festival dan Venice Film Festival tahun 2015. Bahkan pada Festival Film Indonesia tahun lalu, film ini memenangkan 3 Piala Citra dari 7 nominasi, yakni Pemeran Utama Wanita Terbaik untuk Tara Basro, Sutradara Terbaik untuk Joko Anwar, dan Penata Suara Terbaik. Semua predikat ini pastinya ikut menaikkan prestise dari A Copy of My Mind. Semenjak Joko Anwar terlibat sebagai penulis dalam film Arisan! yang legit itu, I'm completely adore his works. Jadi ketika mendengar Joko Anwar kembali duduk sebagai sutradara dari film A Copy of My Mind, I'm super excited. Apalagi dengan embel-embel yang sudah tersebut di atas, rasanya melewatkan film ini adalah sesuatu yang mustahil.

Sari (Tara Basro) adalah pekerja facial di sebuah salon kecantikan yang gemar nonton film, tapi karna kondisi perekonomian, ia hanya mampu nonton lewat DVD bajakan. Ketika ia membeli keping DVD bajakan dan mendapati kalau subtitle-nya berantakan, ia pun protes dan malah dipertemukan dengan Alek (Chicco Jerikho), si pembuat subtitle DVD bajakan tersebut. Pertemuan tersebut berujung dengan hubungan mereka semakin kompleks. Hubungan mereka bukan tanpa hambatan. Ketika Sari yang tangannya 'nggratil' ini mengambil kepingan DVD dari salahsatu narapidana elit yang ia beri layanan facial, ia rupanya bukan mengambil DVD film biasa, tapi sebuah barang bukti yang mampu membongkar kebusukan elit politik perihal suap menyuap. Sialnya perbuatan Sari ini ketahuan dan malah membuat Sari dan Alek jadi buruan. 


Apa yang membuat A Copy of My Mind terasa begitu dekat? Semenjak film dimulai, kita sudah disuguhi berbagai gambar kehidupan urban kota Jakarta yang begitu realistis. Riuhnya salon, ramainya jalanan, hingga hingar bingar kampanye menjelang pilpres pun terasa nyata. Pergerakan kameranya yang katanya memang disengaja lewat teknik handheld ini sukses membaurkan karakternya dengan penonton. Tidak hanya penggambaran kota Jakarta yang crowded, penggambaran kehidupan Alek dan Sari pun terasa begitu nyata. I love how they put Sari and Alek in a situation. Cara mereka saling kenal, berkomunikasi, apalagi kenyataan kalau Sari adalah seorang movie geek penggemar film kelas B dengan modal pas-pasan dipadukan dengan Alek yang 'blangsak' tapi lovable banget. Rasanya begitu membumi. Digambarkan dengan pas. Terlepas dari momen-momen romantis dari Alek dan Sari, kita masih disentil oleh Joko Anwar dengan hal-hal lain misalnya soal pembajakan film (yang secara miris mampu menggugah hati saya) ,ketika kita dipertemukan dengan Ny. Mirna yang dengan gaya nyinyir ngeselin ngoceh segala macam soal duniawi di selnya yang mewah, atau bahkan ketika riuh rendah kampanye serta kebusukan dibalik para calonnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, ini nyata dan sejatinya terjadi di Indonesia. 

Meskipun pergerakan kamera terlihat ala kadarnya, Joko Anwar tidak melupakan sisi artistiknya. Melihat gambar ketika Sari tersenyum lepas saat melihat home theater super mewah atau keintiman hubungan Sari dan Alek tetap terasa artistik. Adegan penutup A Copy of My Mind terasa begitu pilu lewat shot cantik dan ekspresi yang dihadirkan Tara Basro. Memang benar, film ini mungkin bakal mati rasa jika karakter Alek dan Sari tidak dimainkan secara apik oleh Chicco Jerikho dan Tara Basro. Keduanya mampu tampil menyatu tidak hanya dalam komunikasi fisik, terutama lewat adegan bersimbah keringat itu, tapi juga komunikasi verbal yang mampu menunjukkan that they belong to each other. Tara Basro memang juara. Lihat saja ekspresi sepanjang film yang mampu membuat emosi kita terhanyut. Saya suka segala bentuk komunikasi Alek dan Sari yang sederhana namun tetap begitu intim. Pokoknya saya suka Alek dan Sari in every movement.



Kalau ada yang kurang pas, mungkin letaknya ada di konflik yang terasa amat lambat. Menyaksikan film ini memang kudu ekstra sabar karna untuk menuju konflik utama kita harus merangkak melalui waktu yang cukup lama. Tapi dalam rentang menuju konflik, kita disuguhi serangkain adegan yang terasa real, dialog yang legit dipadu chemistry Chicco-Tara yang menghipnotis, rasanya kita gak nelangsa-nelangsa amat kok gara-gara pace-nya yang lambat. Tipe film yang mungkin bukan favorit semua orang, tapi berhasil membuat saya nelangsa layaknya Sari. Seksi dan pilu membaur jadi satu

Rating: 8/ 10

No comments:

Post a Comment