Apr 10, 2016

Batman v Superman: Dawn of Justice Review

"Devils don't come from hell beneath us. They come from the sky"
Pertarungan akbar mempertemukan dua superhero raksasa legendaris dari DC Comics akhirnya tiba juga. Semenjak diumumkan bahwa kelanjutan dari Man of Steel yang dirilis tiga tahun silam akan mempertemukan si manusia besi dan manusia kelelawar, DC seolah menjatuhkan bom atom, semua fanboy langsung jumpalitan, bahkan penonton awam pun juga sama excited-nya menanti terealisasinya proyek ini. Masih segar dalam ingatan kalau gagasan mempertemukan Superman dan Batman sudah ada sejak lama, bahkan pernah muncul sekelebat poster film Batman vs Superman dalam film I Am Legend (yang kebetulan rilisnya cukup berdekatan dengan Superman Returns), namun gagasan itu baru terealisasi setelah peluncuran Man of Steel dan baru kita bisa saksikan tahun ini lewat tangan Zack Snyder. Penantian yang panjang, jadi tidak heran kalau segala macam ekspektasi membumbung tinggi untuk film ini yang jelas sebagai penentu nasib Justice League ke depannya.

Berkaitan secara langsung dengan Man of Steel, ketika Superman bertarung melawan General Zod (Michael Shannon) yang menghancurkan hampir separuh Metropolis, Bruce Wayne (Ben Affleck) atau yang nantinya kita kenal dengan Batman, merasa bahwa Superman adalah sebuah ancaman, mengingat bahwa Superman bisa menghancurkan setengah Metropolis dalam waktu singkat, jelas Superman tidak butuh waktu lama untuk menghancurkan dunia. Kontroversi soal kehadiran Superman juga muncul di tengah masyarakat. Apakah memang benar Superman yang didewakan manusia ini akan selamanya menjadi pelindung atau malah berubah menjadi musuh besar yang jelas akan sulit dikalahkan? Belum lagi kehadiran  Lex Luthor (Jesse Eisenberg) yang memang kita kenal sebagai musuh sejati dan jelas adalah salahsatu pihak yang menolak kehadiran Superman, berusaha mengadu domba Batman dan Superman. Pertarungan keduanya tidak terelakkan lagi, sampai akhirnya mereka menyadari siapa musuh sebenarnya.



Preview story di atas memang tidak diceritakan secara mendetail, sengaja supaya menghindari spoiler yang cukup riskan kalau saya perluas preview-nya. Saya suka opening-nya yang sedikit menceritakan background story si Bruce Wayne yang digambarkan secara dramatis dalam rangkaian adegan slow motion. Melaju ke depan tidak banyak teknis yang dihadirkan, karna meminjam dari footage Man of Steel yang sudah familiar. Selanjutnya lebih berfokus pada pengembangan kisah yang memang harus diakui cukup riskan. Terlihat jelas bahwa DC berusaha keras mengejar ketinggalan melawan Marvel yang saat ini sudah melangkah jauh. Usahanya dalam memasukkan subplot Justice League ke dalam storyline utama membuat kisahnya penuh sesak.  Kita sama-sama tahu Batman v Superman adalah jembatan pengantar menuju JLA, namun rasanya subplot-subplot rasanya terlalu dini untuk DC yang baru punya Man of Steel sebagai dasarnya. Contoh mudah yang buat saya cukup mengganggu adalah Bruce Wayne's dream sequence yang jujur saja pada saat menonton filmnya, saya kebingungan. Apa sih ini? Kok tau-tau ada orang teriak-teriak ngomong sesuatu yang gak jelas? Setelah saya telusuri lewat berbagai macam tulisan, barulah saya tahu kalau ini diambil dari komik dan adegan mimpi Bruce Wayne ini ternyata cukup menentukan ke arah mana JLA akan dibawa. Disinilah yang membuat saya mempertanyakan, apakah Snyder menganggap bahwa seluruh penonton tahu komiknya karna dia berani memasukkan adegan semacam ini ke dalam timeline story-nya? Harusnya dia ingat ada penonton awam yang tidak tahu menahu soal komiknya, dan seharusnya ini bisa dijelaskan di film lain, stand-alone film Batman mungkin?

Konflik utama yang menjadi plot utama dalam film ini juga sebenarnya cukup menarik dan bisa dibilang realistis. Kehadiran Superman yang menjadi pertanyaan publik mengenai posisinya di tengah masyarakat patut diapresiasi meskipun akhirnya penjejalan subplot malah menjadi bumerang yang cukup mengganggu kesinambungan cerita. Banyaknya karakter yang menyumbangkan cameo sebenarnya bisa menjadi menarik, namun alih-alih menarik, malah tidak banyak yang begitu peduli kehadiran mereka. Seolah-olah mereka harus mengenalkan beberapa karakter di film ini, yang padahal bisa dilakukan nanti-nanti saja. Akibatnya justru karakter lain seperti Lex Luthor justru tidak diberi kesempatan untuk memperkenalkan motifnya lebih dalam, seolah-olah dia memang terlahir jahat, kisah head-to-head Batman dan Superman pun terasa seperti tempelan saja, ketika konflik saling benci ini malah menguap begitu saja dengan mudahnya, seolah anak kecil yang sudah dikasih permen, terus langsung berhenti nangis, padahal konlfik begitu menarik dan dalam, sayangnya konklusinya begitu gampang. 


Beruntung final act film ini mampu membayar kelemahan penceritaannya. Kita sudah sama-sama tahu kalau Snyder hampir selalu unggul dalam penyajian visual. Ya, Bvs menawarkan visual yang luar biasa disertai koreo fighting dan serangkaian adegan slow motion yang juga gak kalah kerennya. Mustahil kamu tidak  kagum dengan pertarungan akbar di akhir melawan monster bertitel Doomsday tersebut. Kemunculan Batman, Superman dan Wonder Woman dalam satu scene jelas bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Dan harus diakui, Wonder Woman yang diperankan Gal Gadot jelas menjadi sebuah kelebihan sekaligus scene stealer dalam pertarungan tersebut. Pertarungan skala masif sekaligus final battle dalam film ini begitu megah ditambah score gubahan kolaborasi Hans Zimmer dan Junkie XL yang harus diakui sebagai sebuah kolaborasi jenius dan memang menjadi kelebihan lain film ini, mustahil telinga tidak berdenging dan jantung tidak berdebar menyaksikan adegan ini. Meskipun begitu ending-nya juga sama beresiko. Sejarah pertemuan Doomsday dan Superman di komik cukup kelam, dan film ini mengikuti kisah komiknya, ending yang saya rasa cukup terburu-buru dan bisa disimpan untuk lain waktu di film DC yang lain (Man of Steel 2 mungkin?).

Urusan akting saya rasa cukup solid, meskipun lagi-lagi saya tidak merasakan chemistry yang begitu dalam dari sosok Lois Lane yang diperankan Amy Adams dan sang Superman yang diperankan Henry Cavill. Serangkaian usaha keras dari keduanya tidak begitu membuat saya tersentuh oleh kisah hubungan mereka. Saya kagum dengan penampilan mereka masing-masing sebagai sebuah karakter, terutama Henry Cavill yang berhasil merekatkan karakter Superman ke dalam dirinya sepanjang film, namun ketika berkaitan dengan hubungan mereka, lagi-lagi saya tidak bisa terikat dengan keduanya. Ben Affleck yang sedari awal sudah menjadi kontroversi terkait keterlibatannya sebagai Bruce Wayne juga tidak bermain jelek, meskipun buat saya juga tidak luar biasa amat. Setidaknya penampilannya cukup lah sebagai sosok vigilante berkostum kelelawar yang kali ini jauh lebih brutal dan kasar. Kredit justru saya sematkan kepada Jesse Eisenberg dan Gal Gadot. Meskipun Luthor versi Jesse terlihat aneh dan cerewet, bahkan banyak yang bilang karakter Luthor ini malah lebih mirip Joker, buat saya Jesse berhasil menampilkan akting yang berbeda sebagai seorang maniak pembenci Superman dan cocok sebagai mastermind kejahatan. Sementara Gal Gadot, dibalik kontroversi yang katanya badannya terlalu tipis untuk menjadi seorang Wonder Woman, nyatanya tidak begitu berpengaruh dalam karakternya. Setiap kemunculan Wonder Woman adalah sesuatu yang tidak bisa dilewatkan, baik dari tatapan maupun kharismanya, hampir mustahil untuk mengabaikan kehadirannya yang memang hanya sekelumit di film ini.


Pada akhirnya, meskipun punya konflik yang menarik, nyatanya BvS tidak sepenuhnya berhasil mempesona baik penonton awam maupun fanboy DC. Banyak yang mempermasalahkan bagaimana film ini punya perpindahan adegan yang kasar serta minimnya penjelasan soal subplot yang ada, seolah-olah WB dan DC tengah menodongkan pistol ke Chis Terrio dan David S. Goyer selaku penulis naskah supaya mereka memasukkan berbagai kisah pengantar JLA dan supaya proyek JLA bisa terus meluncur menyaingi proyek Avengers dari Marvel yang sudah begitu solid. Perlu diingat, sebelum Avengers pertama, Marvel sudah melempar lima film stand alone yang memberikan dasar kuat bagi setiap karakternya. Sementara DC lebih memilih jalan yang lebih beresiko, hanya punya Man of Steel sebagai dasar, kemudian melempar BvS dulu dengan segala petunjuk dan cameo kemudian melempar film stand alone-nya satu per satu. Sebuah langkah unik sekaligus menjadi perjudian dengan nasib JLA sebgai taruhannya. Saya pribadi memang tidak pasang ekspektasi tinggi untuk film ini dan saya secara keseluruhan puas berkat visual dan final act-nya meskipun dari segi penceritaan begitu penuh resiko. Dan berhubung sepertinya banyak yang kena gunting di ruang editing akibat terbatasnya durasi untuk theatrical released, rasanya memang harus menanti versi R-Rated versi Director's Cut demi segala pertanyaan yang muncul saat ini. Tentu saja kita juga berharap proyek DC berikutnya tetap terus berjalan dan semakin baik karna jujur saja saya masih penasaran dengan kelanjutannya.

Rating: 7,8/ 10

Tulisan ini pertama kali di-publish disini 

No comments:

Post a Comment