Feb 26, 2013

Life of Pi Review

"In the end, the whole of life becomes an act of letting go, but what always hurts the most is not taking a moment to say goodbye"
Tantangan dalam mengadaptasi sebuah novel bukan suatu hal yang mudah, karena film adaptasi novel memiliki ending yang sudah diketahui oleh pembaca novelnya, sehingga tidak mungkin ending filmnya berbeda dengan novelnya. Maka tantangannya adalah bagaimana menghidupkan karakter-karakter novel tersebut menjadi tokoh-tokoh yang menarik di film. Hal ini juga dialami dalam proses adaptasi film Life of Pi. Rencana pembuatan film ini sudah ada sejak sepuluh tahun yang lalu, namun terkatung-katung karena sulitnya menerjemahkan lembaran-lembaran novel ini menjadi sebuah film. Bahkan sudah berpindah-pindah penyutradaraan, dari M. Night Shyamalan hingga akhirnya Ang Lee memperoleh kepercayaan penuh untuk menyutradarai film ini. Ang Lee yang memiliki background cemerlang sebagai seorang sutradara tentu mempercerah harapan pembaca novelnya. Bukunya sendiri memang bukan buku adventure biasa. Kisahnya sarat akan makna kepercayaan dan kehidupan. Dan yang unik adalah, film ini dibuat dalam format 3D. Merupakan sesuatu yang riskan ketika memilih medium 3D untuk sebuah film drama. Kebanyakan penonton akan berpikir seberapa layak 3D-nya dinikmati, mengingat format 3D umumnya digunakan dalam film action maupun fantasi.

Kisah ini diawali dengan Pi dewasa (Irfan Khan)yang mendapat kunjungan seorang novelis (Rafe Spall) yang tertarik setelah menerima saran dari seseorang yang memberitahunya bahwa ia akan percaya dengan Tuhan setelah mendengar kisah Pi. Pi sendiri bernama lengkap Piscine (dinamakan sesuai nama kolam renang di Perancis) Patel, adalah seorang anak dari pemilik kebun binatang di Pondicherry yang cerdas. Ia tumbuh dengan kepercayaan Hindu yang kuat. Namun seiring pertumbuhannya, ia mempelajari Kristen dan Islam, yang baginya menarik sehingga ia memutuskan untuk menganut ketiga agama tersebut. Ketika Pi menginjak usia remaja (Suraj Sharma), keluarganya memutuskan untuk pindah ke Kanada, dengan seluruh binatang di kebun binatang juga diangkut kesana dengan kapal kargo. Namun hidup memang tidak pernah mudah bagi Pi, karena ketika kapal kargo tersebut bertolak dari Filipina, kapal tersebut karam dan Pi berhasil menyelamatkan diri dengan sekoci. Yang tidak disadari Pi adalah, dia berhasil selamat namun menghadapi bahaya lain, karena ia ternyata naik di sekoci yang sama dengan seekor zebra, seekor orang utan seekor hyena dan seekor harimau Benggala yang buas bernama Richard Parker. Maka dimulailah petualangan Pi yang sebenarnya, dimana ia harus mampu bertahan hidup dengan Richard Parker mengawasi setiap gerak-geriknya.

 
Awesome. Itulah kalimat pertama yang terpikir ketika menyaksikan film ini. Saya bukan pembaca novelnya, sehingga setiap adegan dalam film ini menjadi kejutan bagi saya. Kisahnya yang sarat makna berhasil disampaikan oleh Ang Lee dengan amat sangat baik tanpa menggurui sehingga rasanya 127 menit adalah waktu yang sebentar. Perjalanan Pi dengan Richard Parker menjadi sebuah unforgettable spiritual journey bagi saya. Selipan-selipan humor juga terasa memperkaya rasa film ini (bagaimana harimau Benggala itu dinamai Richard Parker). Ditambah music score dari Mychael Danna yang memberikan ketenangan. Tapi di atas itu semua adalah penampilan visualnya yang luar biasa cantik. Setengah kekaguman saya didasarkan atas visualnya yang sangat memanjakan mata. Mulai dari ombak yang luar biasa ganas hingga air laut yang tenang berhasil divisualisasikan dengan sangat baik. Format 3D-nya tidak terbuang sia-sia, karena tanpa diduga 3D-nya mampu membantu meresapi kisahnya sendiri, bukan sekedar tempelan untuk mengeruk keuntungan semata. Begitu pula dengan tampilan Richard Parker yang full CGI tapi terasa sangat halus, bahkan nampak seperti harimau asli dalam setiap gesture tubuhnya. Kredit khusus patut diberikan kepada departemen visual yang bekerja luar biasa sehingga bisa menghasilkan penampilan visual ini.

Dari segi akting, secara mengejutkan pendatang baru Suraj Sharma memberikan performa maksimalnya sebagai Pi. Penampilannya sebagai Pi yang terjebak dengan Richard Parker terasa sangat nyata (padahal Richard Parker hanya CGI) mulai dari ekspresi ketakutan hingga ekspresi kagum, semua berhasil dikuasainya sehingga rasanya kita benar-benar sedang menyaksikan Pi, bukan Suraj Sharma. Irfan Khan dan Rafe Spall yang walapun tidak memperoleh banyak scenes, namun mampu memberikan performa yang baik. Pemilihan Ang Lee terhadap actor yang tidak dikenal (Suraj Sharma sebagai Pi) hingga penggantian Tobey Maguire dengan Rafe Spall (karena Ang Lee menganggap Tobey Maguire terlalu terkenal) bagi saya merupakan keputusan yang luar biasa tepat, karena maksud dari cerita tersebut jadi tersampaikan ke penonton.


Di atas itu semua, Life of Pi adalah sebuah pengalaman sinematografis yang tidak terlupakan. Cerita, akting, sinematografi bahkan musiknya, semua berpadu saling melengkapi, sehingga menghasilkan sebuah film yang luar biasa. Ang Lee mampu membuktikan bahwa bisa memfilmkan novel yang menurut sebagian besar orang mustahil. Filmnya mampu memberikan renungan tersendiri bagi penonton tanpai harus memberi nasihat secara gamblang. Hasilnya merupakan salahsatu film terbaik di tahun 2012. I definitely agree if this movie win big at Oscar.

Rating: 9/10

No comments:

Post a Comment