Mar 15, 2013

The Hobbit: An Unexpected Journey Review

"...true courage is about knowing not when to take a life, but when to spare one"
Kesuksesan Trilogi Lord of the Ring merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan lagi. Deretan penghargaan sudah membuktikan bahwa dunia Middle Earth rekaan J.R.R Tolkien ini merupakan mahakarya dari seorang Peter Jackson. Kesuksesan ini rupanya masih memancing rasa penasaran Hollywood untuk memfilmkan The Hobbit, novel rekaan Tolkien yang masih memiliki setting di Middle Earth sekaligus prekuel dari LOTR. Kenyataan bahwa film ini telah lama menarik minat Peter Jackson, bahkan sebelum dirinya memfilmkan LOTR, sayangnya tersendat masalah hak cipta dan segala macam urusan yang rumit terkait dengan pembeli hak The Hobbit untuk difilmkan, sehingga proyek The Hobbit harus menunggu. Bahkan awalnya Peter Jackson tidak tertarik untuk menyutradarainya dan menyerahkan kursi sutradara ke Guillermo Del Toro. Namun berbagai macam kendala, termasuk bangkrutnya MGM membuat film ini tertunda hingga Del Toro memilih mengundurkan diri dan membuat Peter Jackson kembali ke Middle Earth.

Kisah ini terjadi jauh sebelum kejadian Frodo dalam LOTR. Bilbo Baggins (Martin Freeman) diajak oleh Gandalf (Sir Ian McKellen) untuk berpetualang. Tiba-tiba suatu malam rumahnya mendadak dipenuhi oleh 13 dwarf yang mengaku diundang oleh Gandalf, termasuk Thorin Oakenshield (Richard Armitage), yang dianggap sebagai pemimpin oleh kelompok dwarf tersebut. Awalnya Bilbo menolak ketika diajak Gandalf untuk membantu Thorin mengembalikan kerajaan Erebor yang saat ini telah dikuasai oleh seekor naga bernama Smaug karena Bilbo sudah merasa nyaman dengan kehidupannya saat ini. Namun  akhirnya mereka berhasil membujuk Bilbo untuk ikut serta. Maka dimulailah petualangan terbesar dalam hidup Bilbo. Dalam perjalanannya inilah, Bilbo bertemu dengan berbagai macam makhluk mulai dari Troll, Orc, Goblin hingga Gollum (Andy Serkis), yang mengantarnya pada cincin milik Sauron, yang sama-sama kita ketahui bahwa cincin ini memiliki peranan penting  dalam Lord of the Ring.


Fans LOTR tentu kegirangan menyambut film ini, termasuk saya. Rasanya sulit untuk tidak membandingkan film yang memiliki subjudul An Unexpected Journey ini dengan kesuksesan trilogi LOTR. Kisah Bilbo cenderung lebih ringan dan ceria dibanding dengan kisah Frodo yang kelam.  Kisah dengan durasi cukup panjang ini bagi saya pribadi sebenarnya tidak perlu dipecah menjadi trilogi, karena bagi saya kisah ini bisa dipadatkan menjadi dua film seperti rencana semula. Akibat dari pemecahan inilah yang membuat kisah The Hobbit terasa seperti draggy, apalagi dasar cerita ini hanyalah petualangan demi harta karun. Beruntung hadirnya cameo-cameo dari LOTR seperti Elijah Wood, Ian Holm, Cate Blanchett, dan Christopher Lee yang kembali memerankan Frodo, Bilbo tua, Lady Galadriel dan Saruman sedikit bisa menghibur saya. Selera humor para dwarf memang tidak terbantahkan, tapi pasti akan melelahkan bagi non fans LOTR ketika menyaksikan film ini. Ketika memasuki paruh film, barulah film ini terasa menarik, terutama ketika Radaghast menceritakan tentang necromancer yang menandai bangkitnya kegelapan, hingga dendam White Orc terhadap Thorin. Namun bagi saya puncaknya adalah ketika rombongan ini berada di Kerajaan Goblin. Adegan kejar-kejaran dengan kereta mengingatkan saya dengan kejadian di tambang Moria dalam The Fellowship of the Ring. But the real show is when Bilbo finally met Gollum. Bukan rahasia bahwa inilah ujung pangkal penderitaan Frodo menanggung beban atas kejadian ini. Walaupun bukan menu utama ataupun adegan inti film ini, tapi ini adalah hiburan terbesar saya.

Martin Freeman yang merupakan sosok kunci film ini berhasil memerankan Bilbo dengan sangat baik. Dalam beberapa adegan, ia tetap mampu mempertahankan karakternya yang awkwardly good sehingga menjadi sebuah karakter yang tetap menonjol di tengah ramainya rombongan tersebut. Sedangkan Sir Ian McKellen sudah tidak perlu diragukan lagi aktingnya karena ia mampu menghadirkan kembali sosok Gandalf dengan sempurna.  Perbedaan penampilan yang dilakukan team make up terhadap masing-masing karakter dwarf sayangnya tetap membuat penonton sulit membedakan sebagian besar karakter, kecuali Thorin yang notabene-nya adalah pemimpin kelompok dwarf yang diperankan oleh Richard Armitage yang bahkan rela menumbuhkan jenggot demi peran Thorin dengan baik.  Di luar Thorin, hanya beberapa karakter yang mampu menonjol, seperti Fili dan Kili. Bahkan mungkin hanya sebagian kecil penggemar Lord of The Ring yang menyadari kehadiran ayah Gimli di dalam rombongan tersebut, Gloin. Sedangkan secara visual, rasanya tidak pantas meragukan kemampuan seorang Peter Jackson yang sudah menghasilkan trilogi LOTR yang berhasil memboyong penghargaan di berbagai ajang hampir 10 tahun lalu. Bahkan Gollum tidak pernah tampil sebaik ini sebelumnya. Dengan dukungan teknologi 3D, tentunya adegan-adegan yang kental dengan petualangan semakin membawa penonton larut dalam petualangan. Begitu pula dengan hadirnya teknologi 48 fps (frame per second) yang dibawa oleh Peter Jackson semakin menambah kejenihan gambar, yang sayangnya kurang direspon baik oleh sebagian besar penonton (penonton menganggap gambarnya terlalu jernih).


Terlepas dari semua kekurangannya, tentunya The Hobbit tetap menjadi sebuah tontonan yang sangat layak dinikmati, terutama untuk penggemar yang rindu dengan kemegahan Middle Earth. Apalagi Peter Jackson memberikan pengalaman visual yang luar biasa. Memang bukan hal yang tepat membandingkan petualangan Bilbo dan Frodo, namun apadaya, ini adalah prekuel LOTR, sulit rasanya untuk tidak membandingkan. Overall, film ini tetap menghibur dengan kehadiran Bilbo Baggins, walaupun jika dibandingkan dengan LOTR, tentunya film ini masih berada di bawah trilogi epik tersebut. Masih ada part kedua dengan subjudul Desolation of Smaug, so I think it’s too early to judge this entire trilogy

Rating: 7.5/ 10

No comments:

Post a Comment