Mar 23, 2013

Django Unchained Review


"Gentlemen, you had my curiosity. But now you have my attention"
Quentin Tarantino menjadi semacam salahsatu nama sutradara yang punya penggemar tersendiri. Semenjak Reservoir Dogs kemudian dilanjutkan dengan Pulp Fiction yang menjadi cult, publik mengenal nama Tarantino sebagai seorang sutradara dengan karya-karya yang unik dan berbeda dengan kebanyakan film. Sebagian besar film yang disutradarainya adalah film yang ide ceritanya datang dari buah pikirannya yang ia tuangkan ke dalam sebuah naskah. Salahsatu ciri khasnya adalah ia tidak pernah segan menumpahkan kekerasan dalam filmnya. Lihat saja mulai dari Reservoir Dogs, Pulp Fiction, Kill Bill Vol. 1 & 2, Grindhouse (kerja sama dengan sahabatnya Robert Rodriguez) hingga Inglorious Basterds, semuanya  memiliki tingkat violence yang tidak biasa. Namun setiap karyanya yang unik tersebut tetap mampu menarik minat penonton maupun kritikus. Begitu pula dengan karya teranyar Tarantino, Django Unchained, yang mulai dari proses pra produksinya sudah mendapat banyak sorotan.

Film yang bersetting sebelum Perang Sipil ini berkisah tentang seorang budak kulit hitam bernama Django (Jamie Foxx) yang dibebaskan oleh seorang bounty hunter asal Jerman, Dr. King Schultz (Christoph Waltz) untuk membantunya mencari orang buruannya. Sepanjang perjalanan, rupanya Schultz tertarik dengan pribadi Django sehingga menawarinya kerjasama dalam profesi bounty hunter. Django sendiri punya misi untuk mencari istrinya, Broomhilda (Keri Russel) yang telah menjadi budak dari seorang kaya raya asal Perancis bernama Calvin Candie (Leonardo Di Caprio) yang gemar mengadu para budaknya. Dengan berhati-hati mereka melakukan kerjasama dengan Candie agar bisa membebaskan Broomhilda. Namun rupanya kepala pembantu Candie, Stephen (Samuel L. Jackson) mencium niat Django dan Schultz dan semakin membuat rumit keadaan.



Berbekal nama besar Tarantino, Django Unchained menjadi sebuah film yang unik seperti film-film Tarantino lainnya. Meminjam nama Django yang pada tahun 1966 sudah lebih dulu terkenal lewat sebuah film cowboy yang sama-sama berjudul Django, film ini seakan membangkitkan kembali genre western dengan menghadirkan nuansa cowboy. Dengan limpahan adegan tembak-menembak, kepala yang pecah dan darah yang mengalir yang memang sudah menjadi ciri khas Tarantino, tidak membuat film ini terasa hambar. Kemampuan Tarantino dalam meramu cerita sekaligus menyutradarai dan menyelipkan humor dalam dialognya (dan kekhasannya) dengan pintar, menjadikan film ini tetap menarik walaupun settingnya kuno. Robert Richardson yang menangani sinematografi film ini juga melakukan kerja yang luar biasa. Beberapa adegan, seperti adegan di malam hari dengan cahaya bulan dan lentera, terlihat simpel tapi tetap menarik. Belum lagi musik-musik pengiring yang diputar sebagai latar adegan semakin menambah suasan cowboy yang dihadirkan.

Seperti biasa, cerita maupun karakter yang bagus bukanlah apa-apa tanpa casting yang mumpuni. Nama besar Tarantino mampu mengumpulkan aktor-aktor kelas A untuk bergabung dalam filmnya. Jamie Foxx mampu tampil baik dalam memerankan Django, mantan budak yang tidak mau dipandang sebelah mata karena ia hanyalah seorang kulit hitam dan menyimpan dendam luar biasa hebat terhadap orang-orang yang menghancurkan hidupnya. Sayangnya akting Jamie Foxx tertutupi oleh Christoph Waltz yang tampil sebagai King Schultz yang tidak mengenal kasihan namun prihatin dengan perbudakan yang ada. Namun penampilan yang paling gemilang menurut saya adalah Leonardo DiCaprio sebagai Candie. Leo tampil sangat-sangat luar biasa. Mulai dari tatapan mata dan gestur tubuhnya, mampu membuat saya ketakutan. Bahkan dalam keadaan tertawa lebar pun, rasanya tetap ada rasa dingin dalam setiap dialognya, seperti ia bisa meledak setiap saat. Adegan-adegan dimana Christoph Waltz dan Leo DiCaprio berinteraksi adalah adegan paling luar biasa karena mampu menghadirkan aura yang mampu membuat merinding. Sebagai pelengkap, hadir Samuel L. Jackson yang tanpa disangka-sangka tampil mencuri perhatian sebagai kepala pelayan yang luar biasa licik. 

 
Django Unchained mampu hadir sebagai film dengan tema yang unsual di era modern saat ini. Dengan kualitas Tarantino sebagai seorang sutradara maupun penulis cerita, menjadikan film ini sayang jika dilewatkan begitu saja. Tarantino mampu mengkombinasikan revenge, ruthless characters and a bit sense of humor di dalam ceritanya dengan intensitas violence yang tidak biasa sehingga mampu menambah tensi filmnya sendiri. So if you’re interested, you may take your time to watch this movie. Oh, and this is Django. The D is silent.

Rating: 8.5/ 10

No comments:

Post a Comment