Mar 30, 2013

Belenggu Review


 

"Mimpi itu datang lagi..."

Perfilman Indonesia bisa dibilang sedang produktif-produktifnya. Dalam setahun, ada ratusan film yang dirilis. Sayangnya tidak semuanya berkualitas. Kebanyakan film memiliki kualitas ecek-ecek kalau tidak mau dibilang jelek. Apalagi genre komedi horor yang makin lama kualitasnya makin rendah. Selain itu, genre populer film Indonesia yang sering menghiasi bioskop adalah drama, romance dan komedi. Jarang ada film Indonesia dengan genre di luar itu. Maka ketika teaser poster Belenggu dirilis dengan tulisan 'A Thriller From Upi', maka rasanya ada secercah harapan, karena film Indonesia bergenre thriller sangat sedikit yang berkualitas. Dan jika melihat dari filmography Upi, rasanya tidak adil jika men-judge film ini lebih awal tanpa menontonnya.

Di sebuah kota anonim, penduduk kota dicekam ketakutan karena adanya kasus pembunuhan berantai. Penyelidikan terus dilakukan namun  tidak menemukan penyelesaian. Elang (Abimana Aryasatya) adalah seorang pria yang sering mendapat mimpi buruk mengenai seorang dengan kostum kelinci dan seorang wanita. Elang merasa yakin kalau dua sosok tersebut berhubungan dengan kasus pembunuhan yang terjadi. Sementara itu, Djenar (Laudya Cynthya Bella) dan anaknya Senja (Avrilla) adalah tetangga Elang yang ketakutan akan terjadinya kasus tersebut. Elang curiga dengan suami Djenar (Verdi Solaiman) karena sering mendengar suara pertengkaran antara Djenar dan suaminya. Hingga suatu hari, Elang bertemu dengan wanita bernama Jingga (Imelda Therine) yang diyakini Elang sebagai wanita yang sering muncul dalam mimpinya. Meski sudah diperingatkan bahwa Jingga membawa sial, Elang mendekati Jingga dengan tujuan memecahkan misteri pembunuhan tersebut.


I won’t talk much, because if I do, I would spoil the story a lot. Yang jelas, sebagai sebuah film Indonesia, Belenggu bisa dibilang bukan tipe film mainstream yang bakal bisa dinikmati semua orang. Perlu kesabaran luar biasa untuk menghubungkan antara kejadian satu dan lainnya. Cerita dibangun perlahan-lahan dengan sangat hati-hati dan berhasil menimbulkan pertanyaan di mata penonton. Mulai dari tokoh kelinci (remind me of Donnie Darko) yang berhasil memberikan tampilan mengerikan di balik kostum badut tersebut. Ditambah karakter-karakter tambahan yang semuanya serba misterius. Namun sayangnya, memasuki dua pertiga film, gaya penceritaan yang dipilih Upi untuk memberikan conclusion entah kenapa terasa sangat biasa in my opinion. Upi memilih memberikan jawaban melalui sudut pandang pihak ketiga. Padahal kalau Upi menampilkan jawaban dari sudut pandang pihak pertama, mungkin rasanya akan lebih memorable dan mind blowing. Belum lagi adanya plot hole (ditampilkan oleh petugas arsip yang plin-plan) dan penjelasan yang menurut saya cukup bertele-tele dan melelahkan. Tapi jangan lantas berpikir film ini jelek. Perhatikan sinematografinya yang luar biasa. Teknik lightning dari lampu-lampu neon itu benar-benar bagus. Juga dream sequence yang dialami Elang menurut saya memiliki tingkat kejeniusan luar biasa unik untuk film Indonesia. Rasanya seperti bukan film Indonesia (yang akhirnya dirusak dengan tulisan 'Jakarta Taxi' dan seragam polisi Indonesia). Musik-musik pengiringnya pun bisa dikatakan bagus, menambah unsur misterius dalam film ini.

Oh ya, Abimana Aryasatya (yang dulu dikenal dengan nama Robertino) tampil sangat luar biasa. Intensitas aktingnya terjaga dari awal sampai akhir. Abimana yang memang sudah tampil mencuri perhatian dalam Catatan Harian Si Boy, berhasil meng-capture sosok Elang yang misterius sekaligus depresif dengan sangat meyakinkan.  Sayangnya, Bella sebagai supporting actress tampil tanpa bisa mengimbangi Abimana. Aktingnya terasa flat walaupun dia sudah berusaha memberikan mimik terbaiknya. Wajah cantiknya pun bagi saya tidak banyak menolong. Justru Imelda Therine yang tampil cukup intens sebagai supporting actress. Adegan interaksi antara karakter Jingga dan Elang memberikan semacam chemistry unik yang menakutkan, I don’t know. Yang jelas, hubungan Elang-Jingga lebih punya ‘rasa’ dibanding Elang-Djenar. Beberapa tambahan aktor-aktor senior seperti Bella Esperance dan Jajang C. Noer tampil baik dan sekaligus misterius, walaupun memang tidak begitu berperan banyak.


Sekali lagi, Belenggu bukanlah popcorn movie yang bisa dinikmati semua orang. Belenggu juga bukan sebuah film horror, in case you’re tricked by the poster. Belenggu adalah sebuah film psychological thriller yang menuntut otak untuk berpikir. Terlepas dari beberapa kekurangan yang ada, Upi sangat layak mendapat acungan jempol karena berani membuat film yang out of the box. Apalagi film Indonesia dengan genre thriller modern bisa dihitung dengan jari. Yang jelas film ini jauh jauh jauh lebih layak tayang di bioskop ketimbang film pocong-pocongan atau gayung atau cangkul murahan yang bahkan bagi saya tidak layak untuk rilis direct-to-video. 

Rating: 7.5/ 10

No comments:

Post a Comment